Selamat Datang Di Blog Saya,Semoga blog saya bermanfaat bagi anda-anda semua...

NONTON RCTI DISINI

Tips dan Trik

TIPS MERAWAT CUCIAN

Tips-1 : Agar Baju Tetap Cemerlang
Baju atau kemeja berwarna putih, lama kelamaan akan jadi kekuning-kuningan. Tentusaja hal ini sering membuat kita kesal. Untuk mengatasinya, cobalah tips
berikut:Sediakan air secukupnya, masukkan deterjen kira-kira satu sendok, lalu aduk rata.Setelah itu tuangkan pembersih porselen cair kira-kira sepertiga
gelas dan rendamlahbaju atau kemeja beberapa menit, lalu bilaslah sampai bersih. Nah, lihatlah baju ataukemeja putih anda, kembali cemerlang.

Tips-2 : Pakaian Agar Tidak Kusut
Saat melakukan perjalanan, apakah anda sering repot karena pakaian yang sudahditata rapi dalam koper menjadi kusut ketika ingin dipakai? Nah, untuk
mengatasi halitu, cobalah tip dari mertua saya. Caranya, setelah pakaian disetrika, selipkan 1-2 helaiKoran di dalamnya, lalu lipat dan susun rapi dalam
koper. Anda pasti terkejut melihatkemeja, blus, rok atau pantaloon anda tetap licin. Tak repot untuk setrika ulang, kan.Silahkan mencoba.

Tips-3 : Agar Pakaian Dalam Tetap Bersih
Bila anda sedang datang bulan atau mengalami keputihan, tak perlu cemas mengenaikebersihannya. Ikutilah tip berikut ini: cucilah celana dalam anda hingga
noda haidbersih. Setelah itu ambilah sabn mandi, gosokkan di celana sampai berbusa.Selanjutnya, sediakan tempat untuk merendam celana kotor tersebut.
Kemudian,panaskan air setengah mendidih kira-kira 1-1,5 liter dan siramkan ke celana itu satuhari satu malam, tanpa dikucek dan langsung dibilas. Niscaya
pakaian anda akan tetapbersih dan harum, tanpa meninggalkan bau amis.

Tips-4 : Menghilangkan Luntur di Pakaian
Jika pakaian anda kelunturan warna pakaian yang lain, jangan khawatir. Rendamlahpakaian tersebut selama sekitar 30 menit dalam larutan asam cuka yang telah
dicampur dengan deterjen. Dengan cara itu, niscaya pakaian anda yang kelunturanakan bersih kembali. Selamat mencoba.

Tips-5 : Membersihkan Noda Tinta dengan Sabun Colek
Sabun colek bukan sekedar pembersih perabotan dapur dan pakaian, tapi bisamenghilangkan noda tinta di baju atau celana. Caranya, rendam pakaian yang
terkenanoda tinta selama 15 menit dengan air biasa. Setelah itu, ambil sabun colek danoleskan pada pakaian yang terkena noda tinta, lalu dikucek sampai
noda tinta hilang.Nah, pakaian anda akan bersih seperti semula tanpa menimbulkan bekas ataukerusakan. Mudah kan? Selamat mencoba.

Tips-6 : Menghilangkan Noda Minyak pada Pakaian
Noda minyak pada pakaian terkadang sulit dihilangkan. Jika anda mengalami halserupa, jangan khawatir, ikuti resep berikut ini: Taburkan bedak pada pakaian
yangterkena noda, kucek-kucek seperti mengucek pakaian saat mencuci, setelah itu cuciseperti biasa menggunakan sabun. Niscaya noda minyak pada pakaian anda
akanhilang. Selamat mencoba.

Tips-7 : Menghilangkan Noda Getah pada Pakaian
Noda getah yang mengotori pakaian anda terkadang sangat sulit untuk dihilangkan.Jika pakaian anda terkena noda getah, jangan khawatir, atasi dengan cara
berikut ini:Pada bagian yang ternoda tetesi dua atau tiga tetes minyak tanah, rendam pakaiandalam air beberapa saat, angkat pakaian, pada bagian ternoda
olesi sabun detergen,gosok perlahan dengan sikat gigi. Tak lama kemudian getah akan hilang. Jika getahsudah hilang, cucilah pakaian seperti biasa menggunakan
 sabun. Selamat mencoba.

Tips-8 : Memelihara Pakaian Berwarna dengan Shampo
Anda mungkin pernah kesal ketika pakaian berwarna kesukaan anda warnanya cepatpudar. Jika ini terjadi, jangan khawatir, atasi dengan resep berikut ini.
Ketikamencuci, jangan gunakan deterjen atau pembersih lain, tetapi gunakanlah shampoo.Tuangkan shampoo secukupnya dengan air dan kocok hingga berbusa.
Rendampakaian berwarna anda kurang lebih 30 menit. Cuci dan bilaslah seperti biasa, jemurdi tempat yang agak teduh. Lakukanlah dengan teratur maka warna
pakaian andatidak akan cepat pudar. Selamat mencoba.

Tips-9 : Sabun untuk Mencuci Sutera
Agar warna-warna bahan yang terbuat dari sutera tidak cepat memudar, biasanyaketika mencuci digunakan daun waru atau klerek. Akan tetapi jika anda kesulitan
mendapatkan kedua bahan tersebut bisa diganti dengan shampoo. Caranya sebagaiberikut: Rendamlah bahan sutera pada 3 liter air yang sudah diberi shampoo,
diamkanbeberapa saat, kucek perlahan, kemudian bilas dengan air bersih. Niscaya bahan darisutera tersebut warnanya tidak cepat memudar. Selamat mencoba.

Tips-10 : Agar Sprei Tidak Kusut
Sprei yang baru kita pasang terkadang terlihat kusut. Untuk menghindari hal ini,lakukan seperti berikut ini: Ambil satu sendok tepung kanji , masak dengan
tiga gelasair, setelahmatangmasukkan larutan tersebut dalam satu ember air, aduk hinggarata, masukkan sprei yang sebelumnya sudah dicuci dengan bersih,
angkat sprei,jemur, bila sudah kering disetrika. Dengan cara seperti itu, niscaya sprei anda tidakakan kusut lagi ketika dipasang. Selamat mencoba.

Tips-11 : Mencuci bahan yang tebal seperti seprei, selimut, dan gorden . Rendam bahan tersebut dalam air hangat yang telah diberi 5 sendok makan garam, biarkan 1-2 jam.
Rendaman tersebut akan melarutkan kotoran. Setelah itu, bilas dan lakukan proses mencuci seperti biasanya. 
TRICK PHOTOGRAPHY

A. MEMBUAT PANNING (OBJECT FOCUS background BLUR)
1. Set di Time priority
2. Setting timenya  1/15 detik
3. ISO 100
4. AI SERVO
5. Sambil foto ikuti gerakan, klik shutter, masih mengikuti gerakan

B. MEMOTRET KEMBANG API
1. Tentukan tempat yang anda anggap bagus
2. Pastikan tidak ada halangan di udara seperti asap
3. Setting di Time Priority, set di 4 detik
4. ISO 400
5. Pasang di tripod
6. Perhatikan baik-baik situsi, sesaat setelah kembang  api menyala, tekan tombol sutter

C. MEMAHAMI KETERKAITAM ISO DAN NOISE DALAM FOTOGRAFI DIGITAL
Tiga komponen dasar eksposur dalam fotografi adalah kecepatan shutter, bukaan diafragma dan besaran ISO. Istilah ISO sendiri pada fotografi digital diartikan sebagai nilai sensitivitas sensor menangkap cahaya. Istilah ISO ini tak ubahnya seperti ISO pada era fotografi film dimana nilai ISO mewakili sensitivitas film yang digunakan. Pada fotografi digital kita dimudahkan dalam menentukan nilai ISO ini dengan hanya memilih lewat menu yang ada pada kamera. Nilai ISO pada kamera digital bisa dipilih mulai dari ISO terendah (ISO dasar) hingga ISO tertinggi dengan kelipatan faktor 2 :

ISO 100 - ISO 200 - ISO 400 - ISO 800 - ISO 1600 - ISO 3200 dst

   Setiap nilai ISO dinaikkan satu tingkat (satu stop) maka kemampuan sensor mengangkap cahaya juga akan naik satu tingkat. Sehingga semakin tinggi nilai ISO yang digunakan, maka semakin sensitif sensor dalam menangkap cahaya. Sensor yang sensitif terhadap cahaya memungkinkan kamera untuk dipakai memotret di tempat yang kurang cahaya (low light). Saat low light, kamera pada prinsipnya akan mencoba menangkap eksposur yang tepat dengan menurunkan kecepatan shutter, sehingga sensor mendapat cukup waktu untuk mengumpulkan cahaya sebelum foto diambil. Memotret dengan shutter yang terlalu lambat punya konsekuensi tersendiri yaitu apapun yang bergerak akan terekam blur, entah objek yang bergerak atau kamera yang bergerak karena getaran tangan (handshake). Pemakaian ISO tinggi dapat menghindarkan kita dari masalah ini karena kita bisa memaksa kamera memakai shutter yang lebih cepat. Selain itu ISO tinggi bisa memungkinkan pemakaian kecepatan shutter yang tinggi untuk fotografi kecepatan tinggi (high speed). Adakalanya saat kita perlu memakai kecepatan shutter yang tinggi, kondisi pencahayaan yang ada ternyata tidak memungkinkan untuk mencapai kecepatan shutter yang diinginkan, maka kita bisa mencoba menaikkan nilai ISO ini. Jadi menaikkan ISO tidak selalu hanya dilakukan saat low light saja, pada saat cahaya terang pun kita boleh menaikkan ISO guna mendapat kecepatan shutter ekstra tinggi. Sayangnya peningkatan ISO juga akan membawa konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Meningkatkan ISO berarti meningkatkan sinyal output sensor, sehingga sinyal yang tadinya rendah dapat menjadi tinggi. Masalahnya, pada proses kerja sensor juga menghasilkan noise yang mengiringi sinyal aslinya. Bila ISO dinaikkan, noise yang awalnya kecil pun akan ikut menjadi tinggi. Noise yang tinggi akan tampak mengganggu pada hasil foto dan muncul berupa titik-titik yang tersebar di seluruh bidang foto.

    Noise pada hasil foto sebagai efek samping dari pemakaian ISO tinggi bisa merupakan gabungan dari dua macam noise yang berbeda yaitu luminance noise dan chrominance noise. Untuk luminance noise bisa kita asumsikan seperti film grain pada era fotografi film, yaitu adanya titik-titik pada foto yang muncul saat memakai ISO tinggi. Grain ini tergolong tidak terlalu mengganggu karena hanya tampak sangat nyata di area gelap (shadow), bahkan grain bila dipandang positif bisa memberi kesan detail pada sebuah foto. Kalaupun luminance noise ini ingin dikurangi, dengan teknik noise reduction sederhana bisa diatur supaya grain ini jadi lebih soft. Sedangkan chrominance noise muncul sebagai titik-titik warna yang tersebar secara acak pada bidang foto yang umumnya berwarna magenta atau hijau. Chrominance noise ini merusak hasil foto secara umum dan sulit dihilangkan meskipun dengan teknik noise reduction. Masalah noise ini akan lebih parah apabila jenis sensor yang digunakan adalah sensor berukuran kecil, seperti yang umum dipakai pada kamera saku. Kenapa? Karena sensor kecil memiliki ukuran titik/piksel yang kecil juga, dan secara teori piksel kecil lebih rentan terhadap noise dibandingkan piksel berukuran lebih besar. Kondisi ini diperparah lagi saat kamera saku masa kini justru memaksakan lebih banyak piksel pada keping sensor yang kecil itu. Oleh karena itulah kamera DSLR tetap lebih baik dalam menghasilkan foto pada ISO tinggi, karena dia memakai sensor yang lebih besar yang lebih mahal dalam proses produksinya.

    Kamera digital masa kini telah memiliki sistem pengurang noise (Noise Reduction/NR) yang secara otomatis akan mencoba memperhalus hasil foto sebelum disimpan menjadi sebuah file. Prinsip yang perlu diingat dalam mengurangi noise adalah bagaimana mengurangi noise namun tetap menjaga detail sebuah foto. Foto yang masih agak noise setelah menjalani proses NR namun memiliki detail lebih baik masih lebih baik daripada foto yang telah mengalami proses NR berlebih sehingga bersih dari noise namun detilnya juga ikut hilang. Beberapa kamera digital terbaru mulai mendesain sensor yang lebih baik dalam mengatasi noise, sehingga mengindari penggunaan NR secara berlebih. Sensor modern ada yang menerapkan sistem pixel binning dimana dua piksel bertetangga digabung untuk mendapat sensitivitas ekstra, seperti pada sensor Super CCD EXR dari Fujifilm. Ada juga teknologi baru dengan menerapkan sistem back-illuminated sensor seperti pada sensor Sony Exmor-R.

D. Memahami Komponen Eksposur Dalam Fotografi

Istilah eksposur dalam fotografi tidak bisa lepas dari satu faktor utama dalam fotografi itu sendiri yaitu cahaya (light). Dalam teori fotografi eksposur didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang dibolehkan mengenai media film atau sensor. Semakin banyak cahaya yang mengenai film atau sensor maka foto yang dihasilkan akan semakin terang, demikian juga sebaliknya. Bila sebuah foto menjadi terlalu terang, foto tersebut dinamakan over eksposur, sedang foto yang terlalu gelap disebut under eksposur. Untuk mengatur masuknya cahaya ke dalam kamera, terdapat dua komponen utama, yaitu shutter dan aperture.

Shutter
   Shutter berfungsi sebagai komponen penentu berapa lama cahaya diperbolehkan untuk mengenai sensor. Pada saat tombol rana ditekan, shutter akan membuka untuk beberapa saat dan kemudian menutup kembali. Waktu yang diperlukan untuk shutter membuka hingga menutup ini selanjutnya disebut sebagai kecepatan shutter (shutter speed). Kecepatan shutter ini bisa diatur pada kamera, mulai dari nilai tertinggi hingga terendah (nilai ini bervariasi untuk tiap jenis kamera). Semakin cepat shutter dibuka maka semakin sedikit cahaya yang bisa dimasukkan, sebaliknya semakin lama shutter dibuka maka semakin banyak cahaya bisa masuk ke kamera. Nilai kecepatan shutter yang tersedia (dalam satuan detik) adalah berupa deret kelipatan baku seperti berikut :

1 - 1/2 - 1/4  - 1/8 - 1/15 - 1/30 - 1/60 - 1/125 - 1/250 - 1/500 - 1/1000

    Dari deret diatas dapat kita lihat kalau kelipatan nilai ini merupakan kelipatan dua. Jadi 1/30 detik adalah dua kali lebih lambat dibanding 1/60 detik, sehingga kalau nilai shutter di kamera dirubah dari 1/60 detik ke 1/30 detik artinya jumlah cahaya yang masuk ke kamera ditambah dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Demikian juga 1/500 detik itu dua kali lebih cepat dari 1/250 detik, sehingga kalau nilai shutter dirubah dari 1/250 detik menjadi 1/500 detik itu artinya jumlah cahaya yang masuk dikurangi setengah dari sebelumnya. Selain berguna untuk mengatur terang gelapnya sebuah foto, berkreasi dengan kecepatan shutter selanjutnya bisa menghasilkan foto high-speed dan foto slow-speed yang keduanya punya keunikan dan nilai seni tersendiri. Hanya saja memakai kecepatan shutter yang terlalu lambat diperlukan tripod untuk mencegah foto blur karena getaran tangan saat memotret.

Aperture
   Kendali eksposur yang kedua adalah aperture. Aperture adalah bagian di dalam lensa berupa lubang yang bisa membesar dan mengecil (biasa disebut bukaan lensa atau diafragma), dimana semakin besar bukaannya maka makin banyak cahaya yang bisa masuk, sebaliknya semakin kecil bukaannya maka cahaya yang bisa masuk semakin sedikit. Besar kecilnya bukaan diafragma ini dinyatakan dalam f-number, dimana f-number kecil menyatakan bukaaan besar dan f-number yang besar menyatakan bukaan kecil. F-number standar untuk lensa modern adalah seperti berikut ini (urut dari bukaan terbesar hingga terkecil) :

f/1.4 - f/2 - f/2.8 - f/4 - f/5.6 - f/8 - f/11 - f/16 - f/22

   Konsep pengaturan cahaya dengan mengubah bukaan lensa memang sedikit lebih rumit untuk dipahami. Pertama yang perlu diingat, deret diatas merupakan kelipatan satu stop atau satu Exposure Value (EV). Bila kita menaikkan bukaan lensa sebesar satu stop (misal dari f/11 ke f/8) artinya kita menambah jumlah cahaya yang masuk ke kamera dua kali lipat, sementara bila kita mengecilkan bukaan lensa sebesar satu stop (misal dari f/2.8 ke f/4) artinya kita mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke dalam kamera sebanyak setengahnya. Kedua, untuk pengaturan yang lebih presisi, diafragma pada lensa modern mampu diatur dalam step yang lebih kecil, umumnya adalah kelipatan 1/2 dan 1/3 stop. Sebagai contoh, diantara f/2.8 hingga f/8 ada beberapa f-number dengan kelipatan 1/3 stop (ditandai dengan warna biru) yaitu :

f/2.8 - f/3.2 - f/3.5 - f/4 - f/4.5 - f/5 - f/5.6 - f/6.3 - f/7.1 - f/8

   Dari deret diatas, tampak kalau ternyata diantara f/2.8 dan f/4 masih tersedia dua f-number  lain yang mewakili 1/3 EV yaitu f/3.2 dan f/3.5. Dengan demikian kita punya keleluasaan dalam mengendalikan bukaan dengan lebih halus dan lebih presisi. Selain sebagai kendali terang gelapnya sebuah foto, berkreasi dengan bermacam variasi bukaan lensa juga menentukan kedalaman foto atau depth-of-field. Foto yang diambil memakai bukaan besar akan memberikan latar belakang yang blur (out of focus), sementara bukaan kecil akan memberikan latar belakang yang tajam.

ISO

Selain dua komponen diatas, masih ada satu faktor lagi yang ikut berperan dalam menentukan eksposur, yaitu sensitivitas film atau sensor yang biasa disebut dengan ASA atau ISO. Tingkat sensitivitas ini dinyatakan dalam angka dan juga dibuat mengikuti deret kelipatan dua (satu stop) yaitu :

ISO 100 - 200 - 400 - 800 - 1600 - 3200 - 6400

   ISO 100 menjadi ISO terendah (sekaligus menjadi nilai ISO default) dan pada nilai ini sensitivitas sensor berada di nilai terendah. Untuk membuat sensor lebih sensitif terhadap cahaya, nilai ISO ini bisa dinaikkan ke nilai ISO yang lebih tinggi. Saat ISO dinaikkan, sinyal tegangan output sensor dibuat lebih besar sehingga kamera menjadi lebih peka cahaya. Teorinya, bila ISO dinaikkan sebanyak satu stop berarti sensitivitas sensor dinaikkan sebesar dua kali lipat. Pada pemakaian sehari-hari, ISO yang digunakan bisa memakai nilai default di ISO rendah (misal ISO 100). ISO yang lebih tinggi dibutuhkan pada dua kondisi, pertama saat low-light atau dipakai di tempat kurang cahaya. Kedua, ISO tinggi diperlukan saat kita memerlukan kecepatan shutter yang lebih cepat. Misal saat memakai ISO 100 nilai kecepatan shutter yang didapat adalah 1/500 detik, maka apabila ISO dinaikkan satu stop ke ISO 200 yang terjadi adalah kecepatan shutter juga naik satu stop menjadi 1/1000 detik (anggap bukaan lensa tidak berubah). Namun perlu diingat kalau ISO tinggi juga membawa konsekuensi adanya noise dalam foto. Untuk kamera film, nilai ASA ditentukan pada film yang kita gunakan sehingga untuk berganti nilai ASA kita harus mengganti film yang dipakai.

Reciprocity
   Mengatur eksposur bisa dilakukan secara manual ataupun otomatis (ditentukan oleh kamera). Pada kebanyakan kamera saku, kita tidak bisa menentukan nilai kecepatan shutter ataupun bukaan lensa. Bahkan ada juga kamera yang tidak membolehkan kita untuk mengatur nilai ISO alias kamera secara otomatis akan menentukan nilai ISO dari tiap foto yang kita ambil. Namun bila pada kamera tersedia kendali eksposur secara manual, kita bisa berkreasi mengatur eksposur untuk tiap foto yang akan kita ambil. Pengaturan kecepatan shutter, bukaan lensa dan nilai ISO yang tepat akan saling bersinergi untuk mendapatkan eksposur yang kita inginkan. Dalam prakteknya di lapangan, kita bisa menghasilkan beberapa foto dengan eksposur yang sama padahal dihasilkan memakai variasi pasangan nilai shutter dan aperture yang beragam. Misal sebuah foto diambil memakai kecepatan shutter 1/125 detik dan bukaan f/5.6 dan kita ingin menghasilkan foto lain yang eksposurnya sama tapi settingnya berbeda. Maka yang bisa kita lakukan adalah :

    * Menurunkan kecepatan shutter menjadi 1/60 detik (satu stop lebih lambat) dan mengecilkan bukaan lensa menjadi f/8 (satu stop lebih kecil).
    * Menaikkan kecepatan shutter menjadi 1/250 detik (satu stop lebih cepat) dan memperbesar bukaan lensa menjadi f/4 (satu stop lebih besar).

   Tampak kalau pada opsi pertama kita lihat dengan melambatkan kecepatan shutter satu stop berarti kita membuat foto jadi lebih terang, maka untuk mendapat eksposur yang tepat, kita harus mengecilkan bukaan lensa untuk mengimbanginya. Sedangkan pada opsi kedua adalah kebalikannya. Dengan menaikkan kecepatan shutter artinya kita membuat foto jadi lebih gelap dan untuk mendapat eksposur yang tepat, harus diimbangi dengan memperbesar bukaan lensa. Jadi bila kita mengekspos sensor untuk waktu yang lebih lama, maka di sisi yang lain kita harus mengecilkan bukaan lensa untuk mengurangi cahaya yang masuk sehingga bisa didapat nilai eksposur yang sama. Singkatnya, kalau yang satu ditambah, yang satu lagi harus dikurangi, sehingga hasil akhirnya akaan tetap sama. Inilah yang disebut dengan prinsip reciprocity dalam teori fotografi.(EM)

E. Pengukuran Cahaya (Metering) dan Kaitannya Terhadap Eksposur

   Cahaya di alam ini berasal dari banyak sumber dengan intensitas yang beragam, mulai dari sinar matahari yang sangat terang, berbagai lampu dengan intensitas yang berbeda hingga cahaya temaram seperti sinar dari sebuah lilin yang intensitasnya rendah. Tingginya variasi tingkat intensitas cahaya ini harus bisa terekam dengan baik oleh kamera supaya setiap foto yang dihasilkan tetap memiliki eksposur yang tepat, alias tidak terlalu terang (over) atau terlalu gelap (under). Untuk itu, seorang fotografer perlu memiliki pemahaman pada prinsip pengukuran cahaya yang tepat, yang disebut dengan light metering, atau singkatnya cukup disebut dengan metering. Tentu saja untuk mengukur cahaya, seorang fotografer tidak cukup dengan mengandalkan matanya saja. Mata manusia punya sensitivitas yang luar biasa tinggi sehingga dalam kondisi terang ataupun kurang cahaya, mata manusia bisa menyesuaikan dengan baik. Untuk dapat mengukur cahaya dengan akurat, seorang fotografer perlu didukung oleh sebuah alat yang dibuat khusus untuk  mengukur intensitas cahaya atau biasa disebut dengan Light Meter. Alat ini mampu mengukur dengan presisi intensitas cahaya sekitar dan menghitung nilai eksposur terbaik yang akan jadi acuan sang fotografer sehingga setiap foto yang diambilnya akan selalu memiliki eksposur yang tepat. Sayangnya alat semacam ini harganya cukup mahal dan biasanya dipakai hanya untuk keperluan profesional saja.

   Untuk pemakaian yang lebih umum, atau pada kamera modern yang serba otomatis, proses pengukuran cahaya sudah bisa dilakukan oleh kamera sehingga lebih praktis dan mudah. Dalam hal ini kamera sekaligus berfungsi sebagai light meter. Cukup dengan menekan tombol bidik setengah, kamera akan menghitung dan menentukan kombinasi nilai kecepatan shutter, bukaan diafragma lensa dan nilai ISO yang digunakan, secara otomatis dan cepat. Ketiga komponen diatas diatur sedemikian rupa sehingga dicapai nilai eksposur yang dianggap tepat menurut kamera. Bila cahaya yang terukur memiliki intensitas yang tinggi, kamera akan memilih nilai shutter yang cepat, bukaan lensa kecil dan ISO rendah. Bila intensitas cahaya yang terukur dianggap kurang, kamera akan memilih memakai shutter lambat, bukaan lensa besar dan bila perlu menaikkan nilai ISO. Pada kamera yang lebih canggih, kita bisa melihat skala light meter hasil pengukuran dari kamera, dimana indikator tengah menunjukkan eksposur normal, sedangkan skala ke arah positif menunjukkan over eksposur, dan skala ke arah negatif menandakan kalau under eksposur. Namun perlu diingat bahwa pengukuran cahaya yang dilakukan oleh kamera mempunyai perbedaan mendasar bila dibanding dengan mengukur memakai Light Meter khusus, karena pada prinsipnya light meter pada kamera hanya mengukur intensitas cahaya berdasarkan pada cahaya yang dipantulkan oleh obyek foto (reflected light), bukannya cahaya yang mengenai obyek. Bagaimana kamera bisa menentukan eksposur hanya dengan mengandalkan light meternya? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita perlu mengetahui bahwa di alam ini tiap benda memiliki sifat yang berbeda-beda dalam memantulkan cahaya, ada yang sangat memantulkan cahaya (seperti salju, kain putih, logam) dan ada juga yang bersifat menyerap cahaya (seperti kain hitam). Karena begitu bervariasinya sifat pemantulan pada setiap benda, maka untuk konsistensi metering dibuatlah semacam standar kalibrasi, yang dikenal dengan istilah 18% gray. Artinya, metering kamera akan berfungsi optimal dalam mengukur cahaya yang dipantulkan oleh medium-gray atau middle-gray yang memiliki kemampuan memantulkan cahaya sekitar 18%.

   Pada prinsipnya kamera tidak bisa mengenal warna, kamera hanya melihat obyek dalam dimensi hitam putih atau grayscale. Hitam dianggap mewakili kondisi gelap sementara putih mewakili kondisi terang sehingga untuk penentuan eksposur normal digunakanlah acuan middle gray. Dalam merancang sistem algoritma metering kamera, produsen kamera membuat sistem pembagian wilayah pengukuran cahaya (zona/segmen) dan memakai teknik perata-rataan (averaging), dimana masing-masing zona itu diukur terang gelapnya lalu dilakukan proses perata-rataan. Eksposur yang tepat akan didapat bila dalam satu bidang foto terdapat penyebaran bidang gelap dan terang yang cukup sehingga bila dirata-rata maka hasilnya akan menjadi middle gray. Untuk kondisi pemotretan normal sehari-hari, proses metering secara otomatis oleh kamera ini hampir selalu tepat dan bisa diandalkan. Namun pada dasarnya kamera sebagai alat tidak bisa ‘melihat’ terang gelapnya suatu obyek foto dengan akurat, dia hanya mencoba ‘menebak’ dengan tepat seberapa terang atau seberapa gelap obyek didepannya, dengan mengandalkan cahaya yang dipantulkan oleh obyek pada bidang foto itu. Nah, adakalanya proses metering yang dilakukan kamera ini akan memberi hasil yang tidak sesuai dari yang diharapkan. Pada kondisi tertentu, kadang kita mengalami foto yang terlalu gelap (under) atau terlalu terang (over) meskipun light meter kamera sudah berada di nilai tengah alias kamera menganggap eksposur yang dibuatnya sudah ‘tepat’. Hal ini umumnya terjadi karena metering kamera telah tertipu, akibat mengukur cahaya pada kondisi yang tidak umum.

   Contoh sederhana kondisi yang tidak umum yang dapat menipu metering kamera adalah bila suatu foto punya bidang yang sebagian lebih terang atau lebih gelap dari bagian yang lain (umumnya pada fotografi landscape). Bisa juga saat obyek yang difoto memiliki warna putih dan latar belakangnya juga putih, atau obyek berwarna hitam dengan latar belakang juga hitam. Bagaimana maksudnya kamera tertipu, secara singkat inilah penjelasannya. Kembali lagi ke teknik perata-rataan di atas, dimana kamera akan memberi eksposur yang tepat bila dalam satu bidang foto terdapat penyebaran bidang gelap dan terang yang berimbang. Nah, apabila ternyata ada suatu kondisi dimana sebaran bidang gelap dan terang tidak berimbang sehingga bila di rata-rata hasilnya lebih dominan ke hitam / gelap kamera tetap akan menaikkan eksposur supaya hasil pengukuran rata-rata menjadi middle gray. Hal yang sama juga bisa terjadi bila hasil rata-rata obyek ternyata lebih dominan ke putih / terang, kamera tetap akan menurunkan eksposur supaya hasilnya menjadi middle gray. Untuk mengatasi kondisi yang khusus seperti ini, pada saat melakukan metering, kita bisa mengganti obyek foto dengan sebuah grey card sehingga kamera bisa mengukur cahaya dengan optimal dan mendapat eksposur yang tepat.(EM)

F. Istilah-istilah dan Penggolongan Lensa Kamera

   Lensa merupakan bagian utama dari kamera yang terdiri atas susunan elemen optik yang berfungsi untuk menangkap gambar di depan kamera sehingga bisa diterima oleh sensor atau film. Pada kamera saku maupun kamera prosumer, lensa ini dibuat menyatu dengan bodi kamera, namun lensa yang digunakan pada kamera SLR dijual terpisah. Baik lensa yang menyatu dengan kamera ataupun lensa khusus kamera SLR, keduanya memiliki kesamaan dalam prinsip kerja, desain optik serta karakteristiknya. Lensa yang berkualitas tinggi memiliki kemampuan untuk memberikan hasil yang memuaskan dalam hal ketajaman, kontras maupun warna. Untuk menilai performa lensa para produsen menggunakan MTF chart yang bisa memberi gambaran kualitas lensa. Berkat teknologi manufaktur lensa modern dengan bantuan komputer, lensa masa kini semakin berkualitas dan sudah dilengkapi dengan fitur modern seperti lapisan khusus yang bisa meningkatkan ketajaman dan meredam flare. Dalam memilih lensa yang baik, diperlukan pemahaman dasar akan istilah-istilah yang umum dijumpai pada lensa, sekaligus mengenali pembagian atau penggolongan lensa berdasarkan jenisnya.

Panjang fokal (Focal Length)

Dalam membahas tentang lensa, hal pertama yang dilihat dari sebuah lensa adalah panjang fokal lensa. Secara difinisi, panjang fokal menandakan seberapa jarak antara sensor (atau film) terhadap lensa, saat kamera memfokus ke tak terhingga (infinity). Untuk menunjukkan panjang fokal lensa ini digunakan satuan milimeter (mm). Dalam pemahaman yang lebih umum, panjang fokal lensa menunjukkan seberapa besar sudut gambar (picture angle atau angle of view) yang bisa dihasilkan oleh sebuah lensa. Sudut gambar inilah yang akan menentukan luasnya bidang gambar yang bisa didapatkan pada panjang fokal tertentu. Perhatikan :

    * Fokal lensa yang pendek (misal 28mm) menghasilkan sudut gambar yang besar sehingga mampu mendapat bidang gambar yang luas atau lebar (wideangle). Semakin pendek fokalnya maka semakin luas bidang gambar yang bisa dihasilkan. Maka lensa 18mm bisa disebut lebih ‘wide’ daripada lensa 28mm.
    * Fokal lensa yang panjang (misal 200mm) menghasilkan sudut gambar yang kecil sehingga mampu mendapat bidang gambar yang sempit, cocok untuk keperluan foto jarak jauh (telephoto). Semakin panjang fokalnya maka semakin jauh kemampuan tele yang dimiliki lensa tersebut. Jadi lensa 400mm bisa disebut lebih ‘tele’ dari lensa 200mm. Lensa yang panjang fokalnya dianggap sama dengan bidang gambar yang dilihat oleh mata manusia (sudut gambaarnya sekitar 46o) adalah lensa 50mm, sehingga lensa dengan fokal 50mm biasa disebut sebagai lensa normal. Lensa dengan fokal yang lebih kecil dari 50mm disebut lensa wide, benda yang difoto dengan lensa wide hasilnya akan tampak lebih jauh daripada kenyataannya. Lensa dengan fokal yang lebih besar dari 50mm disebut lensa tele, benda yang difoto dengan lensa tele hasilnya akan tampak lebih dekat daripada yang semestinya. Jadi berdasarkan panjang fokal, setidaknya kita mengenal tiga jenis lensa yaitu lensa wide, lensa normal dan lensa tele. Lensa wide cocok dipakai untuk mendapat foto dengan kesan luas, seperti pemandangan ataupun arsitektur. Sedangkan lensa tele cocok untuk memotret benda yang jauh seperti saat outdoor atau meliput acara pertandingan olahraga. Lensa normal sendiri lebih cocok dipakai untuk potret wajah atau kebutuhan lain yang memerlukan sudut gambar normal.

Lensa Fix dan Lensa Zoom

   Bila ditinjau dari desain fokalnya, lensa bisa digolongkan menjadi dua kelompok utama. Yang pertama adalah lensa fix / prime (punya panjang fokal yang tetap) dan kedua adalah lensa zoom / vario (punya panjang fokal yang bisa dirubah). Lensa fix punya ukuran yang kecil, dengan sedikit elemen optik dan sesuai namanya, lensa fix hanya memiliki panjang fokal yang tetap. Lensa fix tersedia untuk berbagai macam panjang fokal mulai seperti :

    * - Lensa fix wideangle (24mm, 35mm)
    * - Lensa fix normal (50mm, 60mm)
    * - Lensa fix telephoto (85mm, 105mm)

Lensa zoom sendiri memiliki kelebihan dibanding lensa fix yaitu punya rentang fokal yang bisa dirubah, dari fokal terpendek hingga fokal terpanjang. Kemampuan zoom lensa diukur dengan membandingkan fokal terpanjang terhadap fokal terpendeknya, contoh bila lensa zoom 28-280mm maka panjang fokal terpendek adalah 28mm dan  fokal terpanjang adalah 280mm, sehingga lensa ini disebut dengan lensa zoom 10x (atau 280 dibagi 28). Lensa zoom memiliki kelebihan dalam hal kepraktisan karena dengan satu lensa bisa didapat berbagai variasi fokal lensa untuk berbagai kebutuhan fotografi dan perspektif yang diinginkan. Namun dalam hal ketajaman, lensa zoom memang tidak bisa menyamai lensa fix. Hal ini karena rumitnya susunan optik dalam lensa zoom sehingga berpotensi menurunkan ketajaman secara umum. Dalam lensa zoom, ketajaman pada fokal terpanjang dan fokal terpendek umumnya menurun.

Bukaan lensa (aperture)

   Di dalam lensa kamera terdapat sebuah komponen mekanik yang dinamakan aperture atau diafragma, yang berfungsi untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke lensa. Diafragma tersusun atas sekumpulan lapisan logam tipis (blade) yang membentuk lingkaran iris dan ukuran lubangnya bisa dibuat membesar atau mengecil. Pengaturan masuknya cahaya dilakukan dengan mengubah besarnya bukaan diafragma dari bukaan terbesar hingga terkecil dalam satuan f-number. Bukaan besar dinyatakan dalam f-number kecil, dan sebaliknya bukaan kecil dinyatakan dalam f-number besar. Lensa dengan bukaan besar memiliki kemampuan memasukkan cahaya lebih banyak sehingga memungkinkan untuk pemakaian kecepatan shutter yang lebih tinggi. Bukaan diafragma yang besar (misal f/1.4 atau f/1.8) lebih mudah diwujudkan dalam desain lensa fix. Maka itu mayoritas lensa fix memiliki bukaan diafragma yang besar yang juga punya keistimewaan dalam membuat blur alias out-of-focus pada latar. Namun tidak demikian halnya dengan lensa zoom, dimana untuk membuat lensa zoom dengan bukaan diafragma yang besar agak lebih sulit untuk dilakukan. Pada lensa zoom, bukaan maksimum yang umum dijumpai adalah f/2.8 meski kini mulai dijumpai ada kamera saku yang memiliki lensa yang bisa membuka amat besar hingga f/1.8.

Ditinjau dari desain aperturenya, lensa zoom sendiri terbagi atas dua kelompok :

    * - Lensa zoom bukaan konstan
    * - Lensa zoom bukaan variabel

   Lensa zoom dengan bukaan konstan, misalnya lensa 24-70mm f/2.8 atau lensa 70-200mm f/4 menandakan kalau bukaan maksimum lensa ini pada posisi fokal berapapun adalah tetap. Jadi misal lensa 24-70mm f/2.8 akan mampu membuka sebesar f/2.8 pada posisi fokal 24mm hingga 70mm. Lensa semacam ini lebih sulit untuk dibuat, juga punya ukuran yang lebih besar dan berat, sehingga lensa jenis ini tergolong dalam lensa zoom kelas mahal.
   Lensa zoom dengan bukaan variabel lebih mudah dan murah untuk dibuat, serta memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga ringkas dan ringan. Lensa jenis ini punya bukaan maksimal yang akan mengecil saat lensa di zoom dari posisi fokal terpendek ke fokal terpanjang. Untuk mengetahui bukaan maksimum lensa semacam ini bisa dilihat dari informasi yang ditulis pada lensa, misal lensa 18-105mm f/3.5-5.6 artinya lensa ini memiliki bukaan maksimal f/3.5 pada posisi fokal 18mm dan bukaan maksimal akan mengecil hingga menjadi f/5.6 pada posisi fokal 105mm. Meski tidak ditulis di lensa, sebenarnya bukaan minimum pun bisa mengecil saat lensa di zoom. Hal ini tergantung dari desain lensa, biasanya lensa yang memiliki bukaan minimum yang bisa mengecil saat lensa di zoom adalah lensa kamera SLR. Karena dengan bukaan yang besar sebuah lensa bisa memasukkan cahaya lebih banyak sehingga memungkinkan untuk memakai kecepatan shutter yang lebih tinggi, maka lensa dengan bukaan besar biasa disebut dengan lensa cepat. Untuk lensa fix, karena bukaan maksimumnya umumnya besar, maka hampir semua lensa fix disebut dengan lensa cepat. Namun berhubung amat sulit untuk membuat lensa zoom dengan bukaan yang besar, maka lensa zoom dengan bukaan konstan f/2.8 sudah bisa disebut dengan lensa cepat. Kebanyakan lensa zoom kamera SLR yang memiliki ukuran kecil adalah lensa lambat karena memiliki bukaan yang kecil dan akan semakin mengecil saat lensa di zoom.

Fitur Image Stabilizer

Beberapa lensa modern kini sudah dilengkapi dengan fitur image stabilizer yang berfungsi untuk meredam getaran yang terjadi saat kita memotret. Fitur ini menambahkan satu elemen lensa yang  berfungsi khusus untuk mengkompensasi getaran tangan yang terdeteksi oleh sensor, sehingga resiko gambar menjadi blur bisa dikurangi. Fungsi stabilizer sendiri diperlukan saat kamera dipakai memotret pada kecepatan shutter rendah atau saat memakai lensa tele.

Bila disimpulkan, penggolongan lensa bisa disusun berdasarkan :

Panjang fokal :

    * * Lensa wide
    * * Lensa normal
    * * Lensa tele

Jenis lensa :

    * * Lensa fix / prime (fokal tetap)
    * * Lensa zoom / vario yang terbagi lagi menjadi :
          o - Lensa zoom bukaan konstan
          o - Lensa zoom bukaan variabel

Desain aperture lensa :

    * * Lensa cepat (punya bukaan besar)
    * * Lensa lambat (punya bukaan kecil)

Selain dari penggolongan umum seperti di atas, masih terdapat lensa-lensa khusus yang digunakan untuk keperluan tertentu, seperti :

    * * Lensa fish-eye untuk sudut gambar ekstrim (180o)
    * * Lensa makro untuk memotret benda sangat dekat (perbesaran 1:1)
    * * Lensa Tilt and Shift untuk kebutuhan profesional (kendali perspektif)

G. Memahami Esensi Pencahayaan dalam Fotografi

    Untuk mendalami bidang fotografi, siapa pun harus punya pengetahuan dasar yang baik tentang cahaya (light). Hal ini penting karena cahaya memegang kunci utama dalam penentuan eksposur yang diatur oleh shutter dan aperture pada kamera. Setelah memahami tentang cahaya, tahap selanjutnya adalah mengerti tentang pencahayaan (lighting) sehingga mampu menghasilkan foto yang lebih baik dalam berbagai kondisi pemotretan. Di alam ini sumber cahaya sangatlah beragam dan kompleks, mulai dari sinar matahari, bermacam jenis lampu dan benda lain yang berpendar. Tiap sumber cahaya memiliki intensitas dan temperatur warna yang berbeda-beda, sehingga diperlukan kemampuan dalam mengenali karakter masing-masing sumber cahaya. Intensitas menandakan seberapa terang cahaya yang ada, kaitannya dengan berapa nilai eksposur yang dipakai.
   Sinar matahari di siang hari memiliki intensitas tinggi, menghasilkan pencahayaan yang keras dan membuat bayangan yang jelas. Jenis cahaya semacam ini biasa disebut sebagai hard light (pencahayaan keras). Sedangkan sinar yang dari bersumber dari lampu (misalnya lampu studio) lebih fleksibel karena bisa diatur intensitasnya. Sinar dari lampu juga bisa diatur supaya lebih lembut sehingga menghasilkan bayangan yang samar. Biasanya untuk itu digunakan diffuser, reflector, omni bounce atau soft-box. Sinar yang sudah diatur untuk lebih lembut seperti itu biasa dinamakan soft light (pencahayaan lembut). Bermacam sumber cahaya di alam ini memiliki warna yang berbeda-beda. Bahkan sinar matahari juga memiliki warna yang berbeda saat pagi, siang dan sore hari. Rentang warna cahaya di alam ini berkisar dari 1.900 K (berwarna kemerahan) hingga 12.000 K (berwarna kebiruan), dimana warna putih sendiri memiliki temperatur warna sekitar 5.600 K. Mata manusia mampu mengkompensasi berbagai perbedaan warna dari berbagai sumber cahaya sehingga saat melihat benda berwarna putih akan tetap tampak putih. Namun pada kamera digital, bila temperatur warna yang ditangkap berbeda dengan sumbernya, maka hasilnya benda putih akan berwarna kebiruan atau kemerahan. Untuk itu tersedia fitur white balance yang digunakan untuk menyesuaikan dengan temperatur warna dari sumber cahaya yang ada.
   Untuk menerangi obyek, pencahayaan yang tepat juga perlu memperhitungkan arah datangnya sinar. Umumnya tentu sinar datang dari depan obyek (front light), sehingga mampu menerangi obyek seperti saat memakai lampu kilat. Namun arah sinar seperti ini memberi hasil foto yang flat dan tidak berdimensi.Untuk memberi kesan berbeda dan memiliki kedalaman dari sebuah foto, diperlukan sinar yang datangnya tidak persis dari depan obyek, melainkan datang dari arah samping obyek (side light). Sinar dari samping ini bisa menghasilkan dimensi atau kedalaman karena adanya perbedaan terang gelap yang bila secara jeli dioptimalkan maka bisa mendapat foto yang artistik. Contoh pemakaian adalah untuk fotografi windows lighting, dengan si model berdiri di samping jendela dan cahaya menyinari bagian samping dari si model. Berbeda dengan sinar yang datang dari depan atau samping, sinar yang datang dari arah belakang lebih sulit untuk disiasati. Kondisi yang seperti ini biasa disebut dengan back light, dimana sinar justru menerangi obyek dari arah belakang. Prinsipnya back light akan membuat objek foto jadi siluet/gelap, sehingga tentukan dulu apakah siluet ini memang hasil yang diinginkan atau tidak. Bila kita tidak sedang ingin membuat foto siluet, usahakan menghindari memotret dengan back light. Meski ada trik untuk mengatasi back light, tapi hasilnya tidak akan optimal. Maka itu usahakan merubah posisi obyek atau fotografer bila berhadapan dengan cahaya dari belakang.

Beberapa tips mengatasi back light :

    * Atur kompensasi eksposure (Ev) ke arah positif, bisa sampai 2 stop kalau perlu. Hal ini memang akan membuat background menjadi over tapi kita bisa menyelamatkan obyek fotonya.
    * Gunakan spot metering lalu arahkan titik pengukuran ke arah obyek, hal ini akan membuat kamera menghasilkan eksposur yang tepat hanya di obyek foto dan tidak menghiraukan cahaya yang datang dari arah belakang.
    * Gunakan fill-in flash, sehingga obyek juga mendapat pencahayaan dari arah depan..
    * Gunakan koreksi memakai software, namun tentu anda perlu waktu lagi untuk mengolahnya.

H. Image Stabilizer, fitur penting pada kamera digital

   Salah satu fitur penting yang berpengaruh pada kualitas hasil foto adalah image stabilizer atau penstabil gambar.Fungsi fitur ini adalah untuk meredam getaran tangan (hand shake) saat memotret yang berpotensi membuat hasil foto menjadi blur. Sering tanpa disadari, tangan kita sebenarnya tidak bisa benar-benar kokoh dalam menggenggam kamera. Prinsip kerja fitur ini adalah dengan mengandalkan sebuah gyrosensor yang mendeteksi getaran pada kamera dan melakukan kompensasi secara mekanik untuk meredam getaran itu. Para produsen kamera menganut dua versi kompensasi mekanik yang berbeda, yaitu dengan prinsip lens-shift (menambahkan elemen stabilizer pada lensa) dan sensor-shift (stabilizer dipadukan pada sensor). Keduanya meski berbeda secara teknis namun pada prinsipnya sama saja. Sistem stabilizer yang paling umum dijumpai adalah stabilizer dengan prinsip lens-shift yang tertanam pada lensa. Sebagian besar kamera digital bahkan lensa kamera DSLR pun memakai stabilizer berjenis ini. Prinsipnya, getaran tangan yang dideteksi oleh sensor akan diproses secara digital lalu elemen stabilizer pada lensa akan digerakkan secara berlawanan arah terhadap arah getaran tangan. Berbeda seperti prinsip lens-shift, pada kamera dengan prinsip sensor-shift sistem stabilizer dipadukan dengan sensor kamera itu sendiri. Jadi sensor pada kamera yang menganut prinsip sensor-shift bisa bergerak untuk mengimbangi getaran tangan yang terdeteksi. Sebagian besar kamera DSLR seperti Pentax, Sony dan Olympus menerapkan sistem ini sehingga fitur stabilizer bisa digunakan dengan apapun lensa yang dipakai.

Penamaan fitur image stabilizer ini bisa berbeda-beda untuk tiap merk kamera, meski secara prinsip sama saja :
    * Canon             : Image Stabilizer (IS), termasuk pada lensa DSLRnya
    * Nikon              : Vibration Reduction (VR), termasuk pada lensa DSLRnya
    * Panasonic        : Optical Image Stabilizer (OIS)
    * Pentax             : Anti Shake (AS)
    * Sony                : Super Steady Shot (SSS)
    * Merk lain         : memakai nama generik yaitu Image Stabilizer (IS)

Sedangkan produsen lensa third party juga mulai menyediakan fitur stabilizer pada sebagian lensa mereka seperti :

    * Tamron            : Vibration Correction (VC)
    * Sigma              : Optical Stabilizer (OS)

Pada kondisi seperti apakah fitur stabilizer ini terasa manfaatnya?

    Paling tidak ada dua kondisi yang membutuhkan adanya fitur stabilizer, yaitu saat memotret memakai kecepatan rendah dan saat memakai lensa dengan fokal panjang (tele). Memang getaran tangan saat memotret tidak selalu berakibat pada hasil foto menjadi blur. Apaalaagi pada saat memakai kecepatan shutter yang tinggi, getaran yang dialami oleh kamera tidak berdampak apa-apa karena waktu antara tombol rana ditekan hingga foto diambil hanya dalam kisaran mili detik. Namun saat memakai kecepatan rendah, misalnya 1/20 detik atau lebih lambat, getaran tangan akan mulai berpotensi mengganggu. Bahkan saat memakai kecepatan sangat rendah seperti 1 detik, penggunaan fitur stabilizer sudah tidak efektif lagi dan untuk itu perlu memakai tripod. Ada satu pedoman klasik dalam fotografi dimana untuk menghasilkan foto yang terhindar dari blur akibat getaran tangan, gunakanlah kecepatan shutter yang berkebalikan dengan posisi panjang fokal yang digunakan. Jadi misal kita memakai lensa dengan fokal 300mm, maka dibutuhkan nilai kecepatan shutter sekurangnya 1/300 detik untuk hasil yang aman dari blur. Dengan kata lain, bila memakai kecepatan shutter yang lebih rendah dari 1/300 detik maka hasil foto beresiko blur. Bandingkan bila memakai lensa wide dengan fokal misalnya 30mm. Sesuai pedoman di atas, maka diperlukan kecepatan shutter 1/30 detik supaya hasil foto tidak blur. Kesimpulannya, semakin panjang fokal lensa maka potensi blur akibat getaran tangan semakin besar.

Bagaimana membuktikan kalau fitur stabilizer ini benar-benar bekerja sesuai teorinya?


Prinsipnya, dengan memakai fitur stabilizer, kita bisa memotret dengan kecepatan shutter yang lebih rendah bisa dibanding dengan memakai kamera tanpa fitur stabilizer. Jadi untuk membuktikan kinerja fitur ini cukup mudah, yaitu dengan mencoba memotret dengan kecepatan rendah. Produsen biasanya mengklaim kalau fitur stabilizer buatannya mampu bekerja antara 2 sampai 4 stop lebih rendah.

Contoh kasus, misalnya bila tanpa stabilizer kita hanya bisa memotret dengan kecepatan terendah 1/100 detik (bila lebih rendah dari itu hasilnya akan goyang), lalu saat memakai stabilizer kita bisa memakai kecepatan hingga 1/20 detik, maka artinya efektivitas fitur stabilizer tersebut sekitar 2 stop lebih rendah. Fitur stabilizer pun bisa dimanfaatkan untuk menstabilkan getaran tangan saat merekam video. Meski tidak berlaku untuk semua kamera digital, tapi umumnya fitur stabilizer bisa berfungsi baik saat memotret maupun merekam video. Tanpa fitur stabilizer, getaran tangan bisa terlihat saat video yang direkam itu diputar ulang. Getaran akan tampak lebih parah saat fokal lensa yang digunakan cukup panjang.

Tips memaksimalkan fitur stabilizer

Fitur stabilizer ini bertujuan membantu meredam getaran tangan, adapun hasilnya sangat bervariasi tergantung akan banyak faktor. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mendapat hasil yang maksimal dari fitur stabilizer ini :

    * Kebanyakan orang merasa dengan telah memiliki kamera berfitur stabilizer, dia bisa memotret dengan kondisi tangan yang bergerak-gerak. Padahal sebelum memotret pastikan posisi tubuh dan tangan sudah diam dan stabil. Ini akan mempermudah fungsi stabilizer dalam bekerja.
    * Fitur stabilizer mulai bekerja saat tombol rana ditekan setengah, dan untuk mencapai kinerja terbaik fitur ini perlu sedikit waktu. Untuk itu jangan langsung menekan tombol rana terlalu cepat karena ada kemungkinan foto diambil saat fitur ini belum mencapai hasil terbaiknya.
    * Saat memotret tanpa tripod, hindari memakai kecepatan shutter yang terlalu rendah. Semakin rendah kecepatan shutter maka kerja stabilizer akan semakin berat. Pada kecepatan sangat rendah fitur stabilizer sudah tidak ada gunanya, itulah mengapa dibutuhkan tripod.
    * Karena adakalanya meski sudah memakai stabilizer hasilnya masih juga blur, ada baiknya memakai fasilitas multi shot. Misalnya ambil tiga atau empat secara sekaligus, lalu pilih foto yang terbaik. Dengan demikian peluang medapat foto yang tajam semakin besar.

I. Sensor Kamera dan Resolusi

Dalam fotografi digital, sensor menjadi komponen utama yang menggantikan tugas film sebagai bagian yang menangkap gambar. Sekeping sensor tersusun atas jutaan rangkaian dioda peka cahaya berukuran sangat kecil yang dinamakan piksel. Banyaknya jumlah piksel pada sensor menunjukkan resolusi yang menentukan seberapa detail sebuah foto bisa dihasilkan. Semakin tinggi resolusi dari sebuah foto maka akan semakin besar ukuran cetak maksimalnya. Sensor merupakan rangkaian elektronik yang peka cahaya. Setiap piksel pada keping sensor akan merubah intensitas cahaya yang mengenainya menjadi tegangan listrik, dimana piksel yang mendapat cahaya terang akan menghasilkan sinyal listrik tinggi sedangkan piksel yang kurang mendapat cahaya akan mengeluarkan sinyal yang rendah. Tegangan dari sensor ini selanjutnya dirubah menjadi sinyal digital dan siap diproses di tingkat selanjutnya di dalam kamera hingga menghasilkan sebuah gambar.

Ukuran sensor dan resolusi
Umumnya sensor kamera digital terbagi dalam dua kelompok ukuran, yakni ukuran kecil dan ukuran besar. Sensor dengan ukuran kecil dijumpai di kamera ponsel dan kamera saku hingga kamera prosumer. Sedangkan sensor dengan ukuran besar dijumpai di kamera DSLR. Ukuran sensor ditentukan dari dimensi panjang dan lebar, dan biasanya dijumpai dua macam standar apsek rasio dalam ukuran sensor, yaitu format 4:3 dan format 3:2.

Sensor yang tergolong berukuran kecil diantaranya :

    * - Sensor ukuran 1/2.5 inci (5.7 x 4.3 mm)
    * - Sensor ukuran 1/1.8 inci (7.2 x 5.3 mm)
    * - Sensor ukuran 2/3 inci (11 x 8.8 mm)

Sedangkan sensor dengan ukuran besar diantaranya :

    * - Sensor Four Thirds (17 x 13 mm)
    * - Sensor APS-C (22 x 15 mm)
    * - Sensor APS-H (29 x 19 mm)
    * - Sensor Full Frame (50 x 39 mm)

   Resolusi sensor sendiri menunjukkan seberapa banyak piksel yang terdapat pada sebuah sensor, dimana kamera modern saat ini umumnya memiliki resolusi sensor yang tinggi yaitu antara 8 mega piksel hingga 24 mega piksel. Sebuah sensor dengan resolusi 10 mega piksel misalnya, memiliki 12 juta piksel yang tersusun dari 4000 piksel horizontal dan 3000 piksel vertikal. Dalam menjaga persaingan, produsen kamera terus meningkatkan jumlah piksel meski ukuran sensor yang dipakainya tetap sama. Memang pada dasarnya resolusi sensor tidak dibatasi oleh ukuran fisik sensor, sehingga boleh-boleh saja produsen sensor membuat sebuah sensor berukuran kecil namun memiliki resolusi yang tinggi. Demikian juga sebaliknya, ada kalanya sebuah sensor besar memiliki resolusi yang tergolong rendah. Namun dalam mendesain sensor berukuran kecil dengan jumlah piksel yang banyak, proses miniaturisasi yang dilakukan akan menghadapi masalah utama yaitu kecilnya ukuran piksel yang bertugas menangkap cahaya. Resiko ini menyebabkan sensitivitas sensor kecil lebih rendah daripada sensor besar sehingga sensor kecil lebih mudah mengalami noise di ISO tinggi. Maka itu resolusi sensor kecil kini mulai mencapai titik jenuh di 12-14 MP sedangkan resolusi sensor besar bisa dibuat hingga 24 MP. Pada prinsipnya, resolusi sensor sendiri tidak berhubungan secara langsung dengan kualitas foto. Resolusi sensor lebih tepat digunakan untuk menentukan resolusi maksimal foto yang dihasilkan nantinya. Sebuah foto digital bila dilihat secara detail merupakan mosaik yang dibentuk dari jutaan piksel dimana semakin banyak pikselnya maka semakin detail fotonya. Sebuah foto dengan dimensi 3000 piksel (sisi panjang) dan 2000 piksel (sisi pendek) menandakan foto tersebut memiliki 6 juta piksel (3000 x 2000 piksel) atau disebut 6 mega piksel (6 MP).  Kembali ke urusan cetak mencetak foto, bila ingin mencetak foto dengan ukuran 4R saja, maka dengan hanya memakai kamera resolusi 4 MP saja sebetulnya sudah sangat mencukupi. Namun dengan memiliki kamera yang resolusinya lebih tinggi, kita bisa melakukan pencetakan dengan ukuran yang lebih besar. Selain itu, foto dengan resolusi tinggi memungkinkan kita melakukan cropping secara leluasa dengan tetap menjaga hasil foto setelah cropping masih punya cukup detail.

Pedoman umum ukuran cetak maksimal dari foto digital kurang lebihnya adalah :

    * 6 MP   : 12 x 18 inci
    * 10 MP : 16 x 24 inci
    * 16 MP : 20 x 30 inci
    * 24 MP : 24 x 36 inci

Adapun jenis file foto digital yang paling umum adalah berformat JPEG, sementara file RAW adalah file asli dari sensor yang belum mengalami proses pengolahan gambar di dalam kamera. Tidak semua kamera menyediakan format file RAW. File JPEG merupakan file foto hasil proses di dalam kamera mulai dari pengaturan tone, white balance, noise reduction hingga kompresi. Karena adanya kompresi itulah maka file JPEG punya ukuran yang cukup kecil, meski harus dibayar dengan adanya sedikit penurunan kualitas foto bila dibanding dengan file yang tidak dikompres. Pada kamera modern, tersedia pilihan kualitas kompresi file JPEG, biasanya ada tiga tingkatan :

    * best/fine            : kompresi rendah, kualitas foto tinggi, tapi ukuran file agak besar
    * normal              : kompresi sedang, kualitas foto baik, ukuran file sedang
    * basic                : kompresi tinggi, kualitas foto kurang baik, tapi ukuran file kecil

Jenis sensor
Sensor pada kamera digital secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu :

    * sensor CCD
    * sensor CMOS

Sensor CCD (Charged Coupled Device) merupakan sensor tipe analog yang telah lama digunakan sebagai sensor kamera digital dan kamera perekam video dan memiliki kualitas hasil foto yang amat baik. Prinsip kerja sensor CCD amat sederhana, karena sensor ini hanya merubah intensitas cahaya yang mengenainya menjadi nilai tegangan yang kemudian diproses menjadi data digital oleh rangkaian Analog to Digital Converter (ADC) pada kamera digital.
Sementara sensor CMOS (Complimentary Metal Oxide Semiconductor) merupakan sensor berteknologi modern yang memiliki transistor di tiap pikselnya. Sensor CMOS dibuat dengan konsep digital-chip sehingga keluaran dari sensor ini sudah dalam bentuk data digital. Jadi kamera dengan sensor CMOS tidak lagi memerlukan rangkaian ADC tersendiri, karena keluaran dari sensor CMOS bisa langsung masuk ke prosesor kamera. Karena mekanisme kerja sensor CMOS lebih sederhana, sensor jenis ini digunakan secara luas di kamera ponsel meski dengan kualitas hasil foto pas-pasan. Seiring dengan kemajuan teknologi, sensor CMOS masa kini sudah mampu menyamai kualitas dari sensor CCD dan telah dipakai di kamera kelas atas seperti DSLR kelas pro. Salah satu keunggulan sensor CMOS adalah bisa dipakai memotret burst dengan frame rate tinggi.
    Dari uraian di atas tampak kalau sensor apapun jenisnya, karena hanya mengubah besaran cahaya menjadi besaran tegangan, sebenarnya hanya mengenali informasi terang gelap saja (atau bisa disebut dengan grayscale). Untuk bisa menangkap informasi warna dari obyek yang difoto, sensor kamera digital perlu dilengkapi dengan sebuah filter warna dengan pola warna dasar RGB (merah, hijau dan biru) yang tersusun dengan pola seperti pada gambar disamping. Kombinasi dari tiga warna dasar ini bisa menghasilkan banyak warna berkat teknik interpolasi yang dilakukan di dalam kamera. (EM)

J. MEMAHAMI PRINSIP AUTO FOKUS PADA KAMERA

   Istilah fokus sesuai terminologi artinya titik tempat berkumpulnya sinar yang melalui sebuah optik atau lensa. Dalam fotografi, sebuah gambar yang fokus didapat dengan menempatkan kumpulan sinar pada satu titik yang tepat berada di film atau di sensor (disebut focal plane). Bila titik terbentuk di depan atau di belakang focal plane, maka gambar yang dihasilkan menjadi tidak terfokus atau out of focus. Lensa kamera, seperti layaknya mata manusia, idealnya harus bisa memfokus pada benda yang berada dekat ataupun jauh dengan sama baiknya. Namun terdapat batas terdekat dimana lensa bisa mengunci fokus, sementara batas terjauh biasa disebut dengan infinity (tak terhingga). Dalam lensa kamera terdapat elemen optik yang bisa bergerak maju mundur untuk menyesuaikan jarak terhadap benda didepannya sehingga jatuhnya arah sinar tetap bisa terkumpul di focal plane. Perkecualian untuk kamera dengan lensa berjenis fix focus, dimana tidak ada elemen lensa yang bisa bergerak. Kamera dengan fix focus memakai aperture kecil dan lensa wide yang simpel untuk menghemat biaya seperti pada kamera ponsel. Dahulu kala, lensa pada kamera itu memerlukan pengaturan fokus secara manual. Untuk mencari fokus, kita harus memutar ring fokus pada lensa dan melihat efeknya di jendela bidik untuk mendapatkan gambar yang paling tajam menurut penilaian kita. Untunglah pada akhirnya ditemukan teknologi auto fokus yang memudahkan kita dalam memotret. Dengan auto fokus, kamera secara otomatis menggerakkan elemen lensa untuk mendapat hasil terbaik, dalam waktu yang cukup singkat. Pada kamera modern yang berteknologi digital, terdapat dua perbedaan prinsip kerja auto fokus tergantung jenis kameranya. Pada kamera DSLR, prinsip auto fokus masih sama seperti kamera SLR film dengan memakai prinsip deteksi fasa (phase detect) yang memakai modul terpisah. Sistem ini lebih rumit, mahal namun akurat dan sangat cepat. Pada kamera selain DSLR seperti kamera saku hingga kamera format baru seperti micro four thirds, prinsip auto fokus memakai deteksi kontras (contrast detect) yang lebih hemat biaya.
   Prinsip deteksi kontras sebenarnya hadir di era digital yang cirinya mampu menampilkan preview gambar yang akan diambil melalui layar LCD. Apa yang muncul di LCD adalah apa yang diterima oleh sensor, sehingga biasa disebut live-view. Dengan live-view, banyak informasi yang bisa diolah sebelum foto diambil, sebutlah misalnya informasi warna (untuk pengaturan white balance), informasi terang gelap (untuk pengaturan eksposur) dan informasi kontras (untuk pengaturan auto fokus). Kamera DSLR modern yang sudah memiliki fitur live-view mengusung dua prinsip AF, baik berkonsep phase detect dan juga contrast detect. Dalam kondisi normal untuk kecepatan dan akurasi, kamera DSLR tentu memakai modul phase detect sebagai mode default-nya. Namun saat memakai live-view dengan objek yang diam (seperti foto makro), kita bisa memakai mode contrast detect dengan memanfaatkan fasilitas perbesaran di layar LCD, sehingga kita bisa lebih yakin kalau fokus yang diambil sudah pas. Proses auto fokus dimulai saat tombol rana ditekan setengah. Saat itu kamera langsung menggerakkan elemen fokus di dalam lensa secara maju mundur untuk mendapat kontras terbaik dan memberi konfirmasi berupa bunyi ‘beep’ sebagai tanda sudah berhasil mendapat fokus. Proses keseluruhan ini memerlukan waktu antara kurang dari satu detik hingga beberapa detik. Pada DSLR, kecepatan auto fokus jauh lebih cepat dari kamera lainnya karena memakai modul AF khusus berprinsip phase detect. Namun apapun metodanya, ada beberapa hal yang menentukan kecepatan kamera dalam mencari fokus, diantaranya :

    * - Adanya kontras yang baik pada obyek yang akan difoto. Semakin rendah kontras dari obyek yang akan difoto maka kamera makin sulit untuk mendapatkan fokus yang tepat.
    * - Kondisi pencahayaan sekitar obyek harus cukup baik dan tidak gelap. Saat gelap kamera biasanya membantu auto fokus dengan menembakkan lampu AF assist beam.
    * - Pergerakan obyek yang akan difoto juga mempengaruhi, bila obyek bergerak terlalu cepat sulit bagi kamera untuk mengunci fokus.

Selain menekan tombol rana setengah, pada kamera kelas serius seperti kamera prosumer dan kamera DSLR, terdapat tombol AE-L / AF-L yang bisa dimanfaatkan untuk mengunci fokus. AE-L singkatan dari Auto Exposure - Lock, sementara AF-L singkatan dari Auto Focus - Lock. dalam setting yang lebih lanjut, tombol ini bisa dikustomisasi menjadi beberapa fungsi, misal sekaligus mengunci eksposur dan fokus, atau mengunci eksposur saja, mengunci fokus saja, dan mengunci fokus selama tombol ini ditekan (AF lock-hold). Pilihlah mana yang paling sesuai keinginan anda. Pada awalnya dikenal auto fokus, kamera hanya memilih titik tengah obyek foto sebagai acuan fokus. Hal ini ternyata menyulitkan saat obyek justru tidak berada di tengah bidang foto. Maka itu kemudian dibuatlah zona fokus atau titik fokus yang tersebar di beberapa bidang foto. Umumnya kini terdapat setidaknya tiga zona fokus yaitu zona tengah (utama), zona kiri dan zona kanan. Semakin canggih kamera maka semakin banyak zona fokus yang tersedia sehingga mampu lebih fleksibel dan terhindar dari kesalahan penguncian fokus. Khusus modul AF pada kamera DLSR, tiap titik AF itu bisa berjenis cross type sensor alias sensor silang. Sensor seperti ini peka akan perbedaan kontras baik vertikal maupun horisontal. Titik AF di tengah sudah pasti berjenis cross type, sementara titik lainnya belum tentu. Semakin banyak titik AF berjenis cross type, makin mahal dan makin akurat kamera DSLR tersebut dalam mencari fokus. Selain zona fokus, kini terdapat pilihan lebih lanjut pada mode auto fokus kamera, yaitu opsi AF servo mode. Pilihannya adalah stationer atau continuous, dan disesuaikan dengan kondisi obyek yang akan difoto. Mode stationer cocok dipilih untuk benda yang diam, dan mode ini cenderung jadi default pada kebanyakan kamera. Mode continuous akan mendeteksi gerakan obyek dan berusaha terus mengikuti kemana pun objek bergerak. Saat ini kamera DSLR sudah bisa mengunci fokus pada objek yang bergerak kiri kanan ataupun maju mundur (3D tracking AF).

K. Mengenal file RAW dan perbedaannya dengan JPG

Kamera digital modern kini semakin banyak yang dilengkapi dengan fasilitas format file RAW yang tentunya menjadi nilai tambah tersendiri bagi pemiliknya karena tidak lagi hanya mengandalkan file JPG semata. Namun bisa jadi masih banyak orang yang belum memanfaatkan fasilitas ini karena kurangnya informasi yang jelas mengenai format RAW dan bagaimana menggunakannya dengan optimal. Tidak seperti JPG, format RAW pada kamera  digital bukanlah sebuah standar yang digunakan secara luas. Tiap merk kamera justru memiliki format RAW yang berbeda-beda seperti .CRW (Canon), .NEF (Nikon) dan .ORF (Olympus).Hal ini dikarenakan file RAW merupakan keluaran dari sensor yang masih belum diproses oleh kamera. Tiap merk kamera memiliki teknologi sensor yang berbeda secara jenis dan resolusi, yang mana data output dari sensor itu memerlukan teknik pemrosesan tersendiri sehingga menjadi file JPEG yang siap pakai.

Lebih jauh dengan format RAW

File RAW merupakan perwujudan dari setiap piksel yang ada pada sensor, yang notabene adalah rangkaian peka cahaya yang tersusun secara baris dan kolom yang tiap pikselnya akan menangkap cahaya, merubahnya menjadi tegangan dan diproses menjadi data digital, semisal 12 atau 14 bit. Dengan 12 bit setiap piksel mampu menangani perbedaan terang gelap sebanyak 4.096 level sedang dengan 14 bit mampu membedakan terang gelap hingga 16.384 level. Sampai tahap di atas sensor belum menangkap warna, karena gambar yang dibentuk baru sebatas grayscale dari hasil tangkapan terang gelap sensor. Untuk itu di tiap piksel dipasang filter warna sehingga tiap piksel akan menangkap satu dari tiga warna berikut : Red (R), Green (G) dan Blue (B). Ambil contoh filter warna merah, piksel sensor yang dipadukan dengan filter merah akan menghasilkan keluaran grayscale namun berwarna merah. Sehingga jelas disini kalau setiap piksel selain memiliki informasi terang gelap (luminance) juga memiliki informasi warna (chrominance).

Keluaran dari sensor yang sudah mengandung informasi luminance dan chrominance dari setiap piksel pada sensor inilah yang dinamakan format RAW. Data ini masih berukuran besar (bisa mencapai puluhan mega byte) dan akan diproses lebih lanjut di dalam kamera, atau disimpan di memori sebagai file mentah siap olah.

Tahap konversi dari RAW menjadi JPG

Format RAW sendiri barulah tahap awal dari proses panjang pemrosesan foto secara digital, entah itu dilakukan otomatis pada kamera maupun secara manual memakai komputer. Bila ingin melakukan proses konversi dari RAW menjadi file lainnya (semisal JPG) maka diperlukan program konversi atau biasa disebut RAW converter. Pada dasarnya teknologi kamera digital dalam menghasilkan file JPG kini sudah semakin modern dengan kemampuan proses data yang semakin baik, sehingga sebagian besar proses di kamera sudah bisa dibilang memuaskan.

Untuk melakukan konversi dari file RAW menjadi JPG akan melalui tahapan proses berikut :

    * Interpolasi (demosaicing)
   Proses ini adalah tahapan umum bagi sensor yang mengandalkan filter warna Beyer. Karena tiap piksel hanya memiliki satu informasi warna (entah merah, biru atau hijau) maka diperlukan proses interpolasi yang akan menambahkan warna lain berdasarkan data dari piksel yang bertetangga. Proses ini memang menghasilkan warna yang kurang akurat apalagi bila dibandingkan dengan filter Foveon yang punya 3 lapis filter RGB.

    * Koreksi gamma
   File RAW memiliki kurva gamma yang linier dan sangat berbeda dengan tonal yang ditangkap oleh film maupun mata manusia. Hal ini dikarenakan sensor adalah perangkat linier, bila cahaya yang mengenai sensor naik dua kali lipat maka tegangan keluaran sensor juga naik dua kali lipat. Untuk itu diperlukan koreksi gamma (tone curve) sehingga tonal yang dihasilkan bisa mendekati apa yang dilihat oleh mata manusia.

    * Sharpening, kontras, saturasi dan white balance
   Inilah proses untuk membuat file JPG menjadi tampak lebih menarik, yaitu menaikkan ketajaman, meningkatkan kontras dan juga saturasi warna. File RAW yang sesungguhnya masih sangat flat, memiliki kontras yang rendah dan saturasi warna yang masih pucat. White balance diatur sehingga warna yang dihasilkan akan sesuai dengan temperatur warna dari sumber cahaya yang ada, seperti sinar matahari, lampu neon atau lampu pijar.

    * Kompresi
   Langkah terakhir yang khusus dilakukan bila ingin file RAW menjadi JPG adalah kompresi, dimana konsep JPG sendiri adalah lossy compression sehingga sebagian data akan dihilangkan. Semakin tinggi tingkat kompresi maka semakin banyak data yang dibuang, semakin kecil ukuran file JPG dan semakin jelek hasil fotonya (muncul artefak yang mengganggu). Dengan mengerjakan tahap demi tahap diatas secara terpisah memakai RAW converter, kita bisa melakukan pengaturan tingkat lanjut untuk setiap foto yang ada, namun akan memakan waktu lama meski sepadan dengan hasil yang didapatkan. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu tujuan memotret dan apakah perlu menyimpannya kedalam file RAW atau cukup memakai JPG saja.

Untung rugi format RAW

Banyak yang saat akan membeli kamera digital, mensyaratkan kalau kamera yang akan dibelinya harus bisa membuat file RAW untuk keleluasaan pengolahan gambar. Hal ini wajar karena dengan memotret memakai format RAW akan membuka banyak kesempatan menghasilkan foto yang lebih baik. Tidak seperti JPG yang sudah sangat sulit untuk diolah kembali secara leluasa, file RAW masih belum tersentuh pengolahan digital apapun dan memberi banyak ruang untuk olah digital.

Inilah beberapa keuntungan memotret (dan mengedit) dengan format RAW :

    * kendali penuh akan White Balance, tonal, kontras, saturasi, sharpening dan noise reduction
    * kendali akan eksposur, terhindar dari under/over eksposur
    * kesempatan mendapat dynamic range lebih lebar berkat tonal per piksel yang lebih tinggi
    * memungkinkan memakai metoda lossless compression sehingga terhindar dari artefak khas dari kompresi JPG

Adapun kerugian memakai format RAW adalah :
    * ukuran file lebih besar, menghabiskan ruang kosong di memori dan memperlambat proses penulisan data ke memori
    * diperlukan proses lebih lanjut setelah memotret dan untuk itu perlu software RAW converter (dan komputer yang cukup bertenaga)
    * proses konversi untuk banyak file akan melelahkan dan menyita waktu
    * setiap ada kamera baru perlu mendownload database camera RAW yang sesuai

Program RAW converter
     
   Pada prinsipnya file RAW tidak standar antar merk dan masing-masing kamera punya metoda sendiri untuk memproses RAW ini. Untuk itu biasanya tiap kamera yang punya fitur RAW akan menyertakan CD berisi program dasar untuk mengolah dan mengkonversi RAW ke dalam file lain seperti JPG atau TIFF. Untuk kendali yang lebih lengkap dan sarat fitur diperlukan progam lain yang dijual terpisah seperti Adobe Camera RAW (sebagai plug-in Photoshop CS), Apple Aperture untuk Mac atau Capture One dari Phase One. Bagi yang ingin mencoba program gratis, ada juga program RAW therapee yang tersedia untuk Windows dan Linux.

Kesimpulan
   Pilihan memakai file RAW atau JPG kembali pada sang fotografer itu sendiri, tiap pilihan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Teknologi JPG semakin membaik, namun juga godaan untuk mengedit sendiri file RAW terkadang sulit untuk ditahan. Apalagi kini kapasitas memory card semakin besar, demikian juga dengan kecepatan baca tulisnya, sehingga memotret RAW tidak selalu menjadi kendala di lapangan. Setiap akan memotret coba pertimbangkan lagi, bila dirasa nantinya foto yang diambil akan banyak dilakukan olah digital, gunakan saja file RAW, karena file JPG sudah tidak banyak bisa diharapkan untuk olah digital secara leluasa.

L. Dasar-dasar Kamera DSLR 
   Kamera DSLR saat ini sudah begitu populer di kalangan penggemar fotografi berkat kualitas hasil fotonya serta kecepatan kinerjanya. Berbagai merk dan tipe kamera dijual di pasaran dengan harga dan jenis yang berbeda-beda. Pada saat kita hendak membeli kamera DSLR tentu perlu terlebih dahulu mengenali jenis kamera tersebut dan disesuaikan dengan kebutuhan fotografi kita. Artikel kali ini akan memberi gambaran tentang kamera DSLR secara umum dan penggolongan berdasarkan kelas dan formatnya.
   DSLR atau Digital Single Lens Reflex adalah kamera digital dengan format yang mengadopsi kamera SLR film yaitu memiliki lensa yang bisa dilepas, memiliki cermin mekanik dan penta prisma untuk mengarahkan sinar yang melewati lensa menuju ke jendela bidik. Saat tombol rana ditekan, cermin akan terangkat dan shutter terbuka sehingga menyebabkan sinar yang memasuki lensa akan diteruskan mengenai sensor. Proses eksposur diakhiri dengan menutupnya shutter dan cermin kembali diturunkan. Total waktu yang diperlukan dari shutter membuka hingga menutup lagi dinamakan shutter speed dan bisa diatur secara manual atau otomatis. Perbedaan antara kamera SLR di era film dengan kamera digital SLR (DSLR) adalah pada media rekam gambar peka cahaya yang digunakan, dimana pada SLR digunakan film 35mm dan pada kamera DSLR digunakanlah sensor peka cahaya berjenis CCD atau CMOS. Karena sudah menggunakan sensor, maka DSLR layaknya kamera digital pada umumnya, memiliki rangkaian elektronik dan memiliki layar LCD untuk menampilkan gambar. Namun secara prinsip kerja, kamera DSLR masih memiliki modul yag serupa dengan kamera SLR film seperti modul auto fokus dan modul light meter untuk pengukuran cahaya.
   Setiap merk kamera DSLR masing-masing mendesain sendiri mount untuk memasang lensanya. Kebanyakan mount ini tidak saling kompatibel, meski ada juga kamera yang berbagi desain mount lensa (seperti Nikon dan Fuji). Canon memiliki desain EF-mount untuk kamera DSLRnya, sedang Nikon memakai F mount yang tetap dipertahankan sejak 50 tahun yang lalu. Sebuah kamera DSLR masih bisa dipasang lensa lama asalkan mount-nya sama, meski bisa jadi ada fitur pada lensa modern yang tidak kompatibel. Lensa DSLR modern sendiri kini sudah dilengkapi dengan fitur stabilizer, motor ultra sonic untuk auto fokus hingga CPU untuk bertukar informasi dengan kamera.

Seputar sensor DSLR
    Kamera DSLR memiliki keunggulan dalam hal ukuran sensornya yang jauh lebih besar dibanding kamera digital biasa. Hal ini kamera ukuran sensor dibuat menyamai ukuran film analog 35mm atau yang dikenal dengan sebutan full frame (36 x 24mm). Sensor yang besar artinya setiap pikselnya memiliki ukuran yang lebih besar, sehingga kemampuan dalam menangkap cahaya lebih baik. Maka itu kamera DSLR memiliki kemampuan ISO tinggi yang baik dimana pada ISO tinggi pun noisenya masih terjaga dengan baik. Namun dengan sensor yang berukuran besar, biaya produksi kamera DSLR menjadi tinggi khususnya DSLR full frame. Selain memakai sensor berukuran 35mm, kamera DSLR juga tersedia dengan sensor yang berukuran lebih kecil. Tujuannya adalah untuk menekan biaya produksi dan membuka kesempatan memproduksi lensa khusus yang bisa dibuat lebih kecil dan dengan biaya yang lebih murah.
   Sensor yang lebih kecil dari sensor full frame biasa disebut dengan crop-sensor, karena gambar yang dihasilkan tidak lagi memiliki bidang gambar yang sama dengan fokal lensa yangdigunakan. Hal ini biasa disebut dengan crop factor, dinyatakan dengan focal length multiplier, suatu faktor pengali yang akan membuat fokal lensa yang digunakan akan terkoreksi sesuai ukuran sensor. Perkalian ini akan menaikkan fokal efektif dari fokal lensa yang dipakai sehingga hasil foto yang diambil dengan sensor crop ini akan mengalami perbesaran (magnification). Semakin kecil sensornya maka semakin tinggi crop factornya dan semakin besar perbesaran gambarnya.

Berikut adalah bermacam ukuran sensor kamera DSLR dan kaitannya dengan crop factor  :

    * Full frame 35mm (36 x 24mm)           : tanpa crop factor
    * APS-H (28.7  x 19mm)                       : crop factor 1,3x
    * APS-C (23.6 x 15.7mm)                     : crop factor 1,5x
    * APS-C (22.2 x14.8mm)                      : crop factor 1,6x
    * Four Thirds (17.3 x 13mm)                 : crop factor 2x

   Lensa yang didesain untuk kamera DSLR full frame memiliki diameter image circle yang disesuaikan dengan ukuran sensor 35mm. Dengan semakin banyaknya DSLR dengan sensor yang lebih kecil daripada sensor full frame, maka kini semakin banyak dibuat lensa khusus dengan diameter image circle yang juga lebih kecil. Lensa ini dibedakan dengan penamaan khusus, misalnya memakai kode EF-S untuk Canon dan DX untuk Nikon. Lensa semacam ini berukuran lebih kecil dan tergolong lensa generasi modern yang sudah dilengkapi dengan CPU. Namun lensa dengan diameter kecil ini tidak bisa dipakai di DSLR full frame karena hasil fotonya akan mengalami vignetting (ada lingkaran di pojok foto akibat diameter lensa yang lebih kecil dari ukuran sensor).Jalur agak berbeda ditempuh oleh Olympus yang memakai sensor Four Thirds (4/3) di seluruh jajaran kamera DSLRnya, sehingga lensanya pun sudah didesain memiliki image circle yang sesuai dengan sensor Four Thirds.

Sebagai contoh, sebuah lensa fix 50mm akan memberikan panjang fokal efektif yang berbeda bila mengalami crop factor berikut :

    * 1,3x     : 65mm
    * 1,5x     : 75mm
    * 1,6x     : 80mm
    * 2x        : 100mm

Maka itu memahami ukuran sensor dari kamera DSLR yang dimiliki sangat diperlukan supaya kita tidak salah dalam memperhitungkan rentang fokal yang  dibutuhkan.

DSLR secara teknis

   Kamera DSLR merupakan kamera tingkat lanjut yang memiliki komponen internal yang rumit dan presisi. Prinsip kerjanya mengandalkan cermin yang menutupi sensor sehingga gambar yang ditangkap oleh lensa dipantulkan oleh cermin menuju jendela bidik. Saat tombol rana ditekan, cermin akan turun sehingga sensor mendapat gambar yang ditangkap lensa lalu merekamnya kedalam file digital. Di dalam kamera DSLR terdapat modul auto fokus yang bekerja berdasar prinsip deteksi fasa dengan sejumlah titik sensor fokus. DSLR kelas mahal memiliki modul AF yang rumit dan punya banyak titik fokus, sementara DSLR kelas pemula memiliki modul AF yang lebih sederhana dengan hanya tiga atau lima titik AF. Selain modul AF, terdapat juga alat ukur cahaya yang bernama light meter, yang berfungsi menentukan nilai shutter dan aperture yang akan digunakan pada setiap kondisi pencahayaan.Light meter ini juga memiliki beberapa segmen sensor yang masing-masing mengukur intensitas cahaya lalu datanya akan dianalisa dan dirata-rata oleh prosesor kamera. Kamera DSLR profesional punya modul light meter yang sangat presisi dan jarang meleset dalam menentukan eksposur. Modul light meter di kamera DSLR pemula tergolong sederhana dan sesekali menghasilkan foto yang under atau over eksopsur sehingga perlu disiasati dengan kompensasi eksposur. Seiring bertambah majunya perkembangan teknologi kamera DSLR, kini semakin umum dijumpai kamera DSLR dengan kemampuan live-view atau menampilkan preview gambar yang akan difoto melalui layar LCD. Pada kamera DSLR generasi awal, layar LCD hanya digunakan untuk menampilkan hasil foto saja, sedangkan untuk membidik hanya bisa melalui jendela bidik (viewfinder). Namun untuk sebuah kamera DSLR bisa melakukan live-view, kamera perlu menurunkan cermin supaya sensor bisa menerima gambar dari lensa. Akibatnya kamera kehilangan kemampuan auto fokusnya yang berbasis deteksi fasa. Sebagai gantinya, diberikanlah metoda auto fokus lain yang berbasis deteksi kontras seperti yang dipakai di kamera digital biasa. Perbedaan utamanya, auto fokus dengan deteksi kontras perlu waktu lebih lama untuk mengunci fokus padahal kamera DSLR itu identik dengan kinerjanya yang cepat. Pengembangan lebih lanjut dari live-view adalah memungkinkannya kamera DSLR modern untuk merekam gambar bergerak atau video. Kini semakin banyak kamera DSLR yang bisa merekam video beresolusi High Definition (HD) 1280 x 720 piksel bahkan 1920 x 1080 piksel.

M. Memahami White Balance
   Salah satu fitur penting pada kamera digital adalah fitur White Balance. Fitur ini bisa dijumpai pada semua kamera digital mulai dari kamera pada ponsel, kamera saku hingga kamera DSLR. Mengapa fitur ini tergolong penting? Jawabannya tak lain adalah karena fitur ini akan menentukan ketepatan warna dari setiap foto yang kita buat. Warna yang dihasilkan kamera digital bisa dipengaruhi oleh sumber cahaya yang digunakan saat kita memotret, apakah sinar matahari, lampu kilat atau sumber lainnya.
   Cahaya sendiri sebenarnya merupakan perpaduan dari berbagai spektrum warna yang bercampur sehingga bermacam sumber cahaya memiliki karakter warna yang berbeda. Dalam fotografi dikenal bermacam sumber cahaya yang  disesuaikan dengan kondisi pemotretan, seperti sinar matahari, lampu kilat, lampu ruangan (bohlam atau neon) hingga lampu studio. Meski kesemua sumber cahaya itu memiliki warna yang nampak sama bagi mata manusia, tidak demikian halnya dengan kamera. Sebuah sumber cahaya seperti lampu pijar akan cenderung berwarna kekuningan (atau oranye) sementara sumber cahaya lainnya ada yang cenderung kebiruan .Warna dari berbagai sumber cahaya ini dan dinyatakan dalam temperatur warna (derajat Kelvin) dengan rentang temperatur antara 1.000 K hingga 10.000 K. Semakin rendah temperatur sebuah sumber warna, maka warnanya akan semakin kekuningan (warm). Semakin tinggi temperaturnya, warnanya akan semakin kebiruan (cool). Meski bagi mata manusia perbedaan temperatur warna ini tidak menjadi masalah, namun dalam fotografi digital hal ini bisa mengganggu warna akhir yang dihasilkan. Bagi mata manusia, benda putih akan tampak putih dibawah sumber cahaya yang berbeda. Pada kamera, benda putih bisa nampak kekuningan bila disinari lampu dengan temperatur warna rendah, atau kebiruan bila disinari sumber cahaya dengan temperatur tinggi. Hal ini karena mata manusia memiliki kemampuan kompensasi warna sedangkan kamera hanya merekam warna apa adanya, temperatur warna dari sumber cahaya yang dipakai bisa berpotensi menggeser warna yang dihasilkan oleh kamera sehingga sebuah foto bisa nampak tidak natural. Untuk itulah pada kamera digital diberikan sebuah fitur yang bernama White Balance (WB), yaitu suatu proses kompensasi warna yang dilakukan pada kamera untuk mencegah hasil foto yang warnanya tidak natural. Proses WB pada kamera akan menyesuaikan dengan temperatur warna yang dipancarkan dari sumber cahaya sehingga benda yang berwarna putih akan tetap tampak putih, tidak terlalu oranye atau kebiruan.
   Mengapa harus benda putih? Hal ini karena benda putihlah yang mudah untuk dijadikan acuan sekaligus mampu bereaksi terhadap perubahan warna dari sumber cahaya. Warna putih tidak mengenal kompromi, tidak ada putih muda atau putih tua, tidak ada putih kebiruan atau putih kekuningan. Warna putih akan jadi kuning bila disinari cahaya kuning, dan akan jadi biru bila disinari lampu berwarna biru. Maka itu benda putih bisa menjadi tolok ukur tepat atau tidaknya pengaturan WB kamera. Bila kamera diset dengan WB untuk temperatur warna rendah namun diberi sumber cahaya yang temperatur warnanya lebih tinggi maka hasilnya benda putih tadi akan jadi kebiruan, sebaliknya bila kamera diset dengan WB untuk temperatur warna tinggi namun diberi sumber cahaya yang temperatur warnanyaa lebih rendah maka hasilnya benda putih tadi akan jadi kekuningan (atau oranye).

Prinsip kerja White Balance pada kamera Proses White Balance pada kamera digital bisa dilakukan secara otomatis oleh kamera, istilahnya Auto White Balance (AWB), tersedia pada semua kamera digital dari kamera ponsel hingga kamera high-end. Bila hasil dari AWB tidak memuaskan kita juga bisa memilih berbagai nilai preset WB yang tersedia pada kamera digital. Pada kamera modern bahkan tersedia pilihan untuk melakukan kalibrasi secara manual.
   Auto White Balance (AWB) adalah proses internal kamera digital yang secara otomatis akan menyesuaikan terhadap temperatur warna dari sumber cahaya yang ada. Bisa dibilang dalam proses ini kamera ‘menebak’ temperatur warna dari sumber cahaya yang ada lalu melakukan kompensasi dengan pergeseran warna seperlunya sehingga warna yang dihasilkan menjadi natural. Mode AWB ini dalam kebanyakan kasus bisa diandalkan untuk pemakaian outdoor siang dan malam hari, dengan atau tanpa lampu kilat. Seberapa baik AWB ini bisa mendapat warna putih yang natural sangat ditentukan oleh berbagai faktor seperti jenis sumber cahaya, suasana sekitar dan warna dari obyek yang difoto. AWB akan lebih aman bila digunakan saat siang hari dan pemakaian lampu kilat, dan AWB bisa memberikan kinerja yang berbeda-beda bila menemui sumber cahaya yang temperaturnnya cukup rendah atau cukup tinggi. Bila dengan memakai AWB tidak memberikan hasil yang memuaskan, gunakan preset WB yang sudah disesuaikan dengan berbagai macam temperatur warna.

Berikut ini adalah beberapa preset WB yang umum ditemui di kamera digital, diurut dari temperatur terendah hingga tertinggi :
    * Tungsten atau Incandescent (2500-3500K) :
       Preset ini cocok untuk mengkompensasi sumber cahaya seperti lampu pijar yang berwarna kekuningan dan biasanya dipakai untuk memotret indoor tanpa lampu kilat. Bila preset ini dipakai pada sumber cahaya lain hasilnya akan sangat biru.
    * Flourescent (4000-5000K) :
       Peset yang disesuaikan dengan temperatur warna dari lampu neon. Di pasaran umumnya tersedia lampu neon dengan dua pilihan yaitu warm white dan cool daylight, dimana temperatur warna kedua jenis ini berbeda. Warm white punya temperatur rendah mendekati lampu pijar, sedang cool daylight punya temperatur warna mendekati sinar matahari di siang hari.
    * Daylight (5000 - 6500K) :
       Cocok digunakan bila memotret di luar ruangan siang hari dengan sinar matahari langsung.
    * Flash (5600K) :
      Preset yang disesuaikan dengan temperatur warna dari lampu kilat kamera. Temperatur warna ini dianggap yang paling natural, tidak kebiruan atau kekuningan.
    * Cloudy  (6500 - 8000K) :
       Preset ini untuk dipakai di saat siang hari namun kondisi berawan (kadang bila memakai AWB hasilnya agak kebiruan). Preset ini bisa menghasilkan warna yang lebih hangat bila dibanding dengan preset Daylight saat dipakai di siang hari.
    * Shade (8000-10000K) :
       Preset untuk menghadapi temperatur warna amat tinggi, biasanya terjadi saat berada di bawah bayangan matahari atau kondisi sangat berawan. Gunakan preset Shade bila dengan AWB anda masih mendapati hasil foto yang kebiruan. Bila preset ini dipakai pada sumber cahaya lain hasilnya akan sangat kekuningan. Dengan memilih setting preset WB diatas, pada prinsipnya kitalah yang memberitahu kamera akan sumber cahaya yang kita gunakan untuk memotret. Dengan demikian diharapkan kamera akan memberikan hasil WB terbaiknya untuk sumber cahaya yang ada. Khususnya untuk sumber cahaya matahari, pemilihan preset WB tidak harus selalu memakai preset Daylight semata, karena temperatur warna matahari juga tergantung pada waktu, ketinggian dan awan. Bila memakai preset Daylight atau memakai AWB masih menghasilkan warna yang kebiruan (artinya preset yang kita pilih masih terlalu rendah) bisa mencoba menaikkan temperaturnya dengan memakai preset Cloudy bahkan Shade. Sebaliknya bila foto kita kekuningan (artinya preset yang kita pilih terlalu tinggi), turunkan temperaturnya dengan memakai preset lampu neon bahkan lampu pijar. Pada kamera tertentu tersedia juga fasilitas untuk melakukan manual preset dengan cara mengarahkan kamera ke obyek berwarna putih atau abu-abu untuk mendapat warna yang paling natural. Untuk itu tersedia sebagai aksesori sebuah alat bantu bernama grey card yang biasa dipakai untuk pengaturan WB yang lebih presisi. Bila ketepatan warna menjadi hal yang mutlak, disarankan memotret memakai format RAW sehingga warna yang dihasilkan bisa diatur dengan akurat melalui komputer.

N. Berbagai Pilihan Mode Metering Dalam Fotografi

   Istilah metering dalam fotografi memegang peranan yang penting dalam menentukan eksposur, dalam hal ini adalah terang gelapnya foto yang dihasilkan. Metering pada prinsipnya adalah proses mengukur cahaya sebagai acuan kamera untuk menentukan komponen eksposur yang optimal (shutter speed, aperture dan ISO). Logika metering kamera akan berupaya menjaga eksposure yang pas dimana foto yang dihasilkan memiliki area gelap (shadow), area tengah/grey (midtone) dan area terang (highlight) yang berimbang. Tidak seperti mata manusia, sensor pada kamera digital punya rentang sensitivitas terhadap cahaya yang terbatas sehingga kamera sulit untuk mereproduksi kondisi terang gelap yang menyamai kondisi aslinya. Kinerja metering dari sebuah kamera akan sangat menentukan untuk menghindari dari hasil foto yang terlalu terang (over-exposure) atau terlalu gelap (under-exposure). Pada kamera DSLR, terdapat sebuah modul light meter yang memiliki beberapa sensor (segmen/area) peka cahaya. Modul ini akan menerima cahaya yang masuk melalui lensa lalu bertugas mengirim informasi ke prosesor kamera DSLR untuk memberi gambaran kondisi cahaya yang terukur. Pada kamera digital lainnya, proses metering langsung dilakukan dengan menganalisa intensitas cahaya yang mengenai beberapa bagian pada sensor CCD/CMOS. Baik proses metering dengan kamera DSLR atau kamera digital biasa, kita bisa jumpai ada beberapa pilihan mode metering yang tersedia. Berbagai mode metering ini akan berfungsi saat kita memakai kamera digital dengan eksposur otomatis atau semi otomatis (Program/Aperture Priority/Shutter Priority).

Pilihan mode metering yang ada pada kamera digital diantaranya :

1. Multi segment/Evaluative/Matrix Metering
   Mode metering pertama ini adalah mode yang umum digunakan dimana kamera akan menentukan eksposure berdasarkan perata-rataan pengukuran cahaya di seluruh bidang foto. Dengan kata lain kamera menganggap pengukuran cahaya pada semua bidang foto punya prioritas yang sama penting. Pada mode ini kamera mengacu pada informasi terang gelap yang diterima oleh semua segmen di light meter lalu menggabungkan hasilnya dan dirata-rata untuk menentukan eksposure yang sesuai. Tiap kamera memiliki jumlah segmen yang berbeda-beda dan juga teknik perata-rataan yang juga berbeda. Semakin banyak segmen yang digunakan untuk pengukuran ini maka akan semakin lengkap informasi yang diterima kamera sehingga semakin akurat hasilnya. Mode ini dianggap bisa diandalkan untuk kebanyakan situasi pemotretan (indoor dan outdoor) dan karena kamera memperhitungkan seluruh segmen dari bidang foto maka mode ini mampu menghindarkan dari hasil foto yang over-exposure. Namun ada situasi dimana mode ini memberi hasil yang tidak tepat seperti foto landscape yang memiliki elemen langit terang yang dominan dan berkontras tinggi.

2. Center-weighted Average Metering
   Pada mode kedua, yaitu center-weight, kamera masih mengandalkan pengukuran dari banyak area sensor namun lebih memprioritaskan pengukuran pada bidang tengah foto (sekitar 75% dari bidang foto) dan tidak terlalu memperhitungkan pengukuran cahaya di luar area tengah itu. Dengan memakai mode metering ini, area tengah yang umumnya jadi subjek foto, bisa mendapat eksposure yang lebih tepat. Mode ini cocok untuk potret wajah atau kebutuhan lain yang memang menitikberatkan eksposure yang tepat pada mayoritas bagian tengah foto, sedang area di luarnya boleh agak terlalu terang atau terlalu gelap.

3. Partial Metering
   Mode metering ini sesuai namanya, hanya mengukur dari sebagian tengah area sensor (sekitar 15%) dan akan mengabaikan area diluar itu, sehingga cocok digunakan untuk mengatasi cahaya yang lebih terang dari arah belakang obyek foto (backlight). Bila memakai mode Multi Segment atau Center-weight saat menghadapi backlight masih menghasilkan obyek yang siluet, mode Partial metering ini bisa digunakan. Namun karena banyak area di luar yang tidak ikut diperhitungkan dalam penentuan eksposur, area diluar obyek bisa sangat terang hingga mengalami highlight clipping atau blown. Mode ini cocok untuk potret wajah atau kebutuhan lain yang mengalami backlight.

4. Spot Metering
   Di mode yang bernama spot metering ini kamera hanya mengukur cahaya pada sebidang titik kecil (sekitar 5% dari bidang foto) dan akan mengabaikan 95% area selain titik tadi. Titik kecil ini harus diarahkan tepat di obyek yang akan diukur, bila meleset sedikit saja maka hasilnya akan berbeda. Tidak semua kamera digital menyediakan mode ini. Mode ini berguna untuk memotret di tempat yang pencahayaannya amat kompleks dimana bila tidak memakai mode spot maka tidak akan didapat eksposure yang sesuai. Biasanya kondisi yang memaksa kita untuk memakai spot meter adalah saat bidang foto memiliki kontras (perbedaan terang gelap) yang amat tinggi, seperti saat memotret bulan purnama. Namun bila kita salah dalam memakai mode ini, obyek yang hendak difoto bisa jadi terlalu terang atau gelap. Perlu diingat bahwa nilai eksposure tidak ada standar pasti. Kita hanya mengandalkan mata untuk menilai apakah foto yang dihasilkan sudah memiliki eksposure yang tepat (kadang foto yang agak gelap atau agak terang tidak berarti foto itu gagal). Bila menurut kita ternyata eksposur foto yang dihasilkan oleh kamera belum sesuai dengan keinginan kita, bisa diatasi dengan kompensasi eksposur (Ev) ke arah negatif (lebih gelap) atau positif (lebih terang). Bisa juga memakai bantuan tombol kuncian eksposure (exposure lock/AE-L), atau kesulitan mendapat eksposur yang tepat ini bisa juga diatasi dengan bantuan reflektor atau bahkan lampu kilat.

O. Fungsi Histogram Dalam Fotografi Digital

Salah satu istilah yang populer pada era fotografi digital adalah histogram. Istilah ini bisa dijumpai pada kebanyakan kamera digital modern maupun pada program pengolah gambar di komputer. Histogram sendiri sebenarnya adalah representasi dari gambar digital yang ditampilkan berupa grafik dan bisa ditampilkan pada layar kamera pada saat preview (record mode) atau bisa juga ditampilkan pada foto yang telah diambil (playback mode). Fitur histogram sangat berperan dalam mengevaluasi ketepatan eksposur, namun untuk itu kita perlu bisa memahami makna dari grafik yang ditampilkan melalui histogram. Sedikit menyinggung soal eksposur, ada dua kondisi ekstrim yang bisa terjadi bila pengaturan eksposur kamera tidak tepat. Kondisi pertama dinamakan over eksposur dimana gambar menjadi terlalu terang, terjadi kehilangan detail di daerah terang (istilahnya blown highlight). Kondisi kedua adalah under eksposur, dimana gambar menjadi terlalu gelap dan detail di daerah gelap menjadi hilang. Fungsi histogram adalah memberitahu kita mengenai bagaimana eksposur yang dimiliki oleh gambar yang kita ambil. Meski kamera digital memiliki layar LCD yang tajam dan terang, namun layar LCD tidak selamanya bisa diandalkan sebagai acuan eksposur yang akurat. Kadang hasil foto di layar LCD tampak terang namun ternyata hasil sesungguhnya lebih gelap tergantung dari tipe dan pengaturan LCD pada kamera. Bisa dibilang histogram pada kamera digital menjadi light meter modern yang presisi, dimana grafik yang ditampilkan merepresentasikan nilai terang gelap aktual yang mampu ditangkap oleh sensor kamera.
   Grafik histogram pada umumnya tampak seperti pada contoh gambar di atas. Grafik di atas memiliki rentang terang gelap sebanyak 256 tingkatan dari nilai 0 (minimum) hingga 255 (maksimum), dengan asumsi sensor kamera memiliki jangkauan dinamik 8 bit. Setiap piksel dari keping sensor akan menangkap cahaya dengan terang gelap yang berbeda dan grafik yang muncul pada histogram menunjukkan banyaknya piksel untuk setiap level mulai dari nilai 0 hingga 255 tersebut. Nilai 0 yang berada di bagian paling kiri dari histogram menandakan kondisi paling gelap (pure black), di bagian tengah histogram adalah middle-gray/midtone (abu-abu) dan paling kanan yang mewakili kondisi paling terang (pure white) dengan nilai 255. Cara melihat grafik histogram adalah dengan melihat penyebaran grafik pada bidang horizontal (kiri kanan) dan juga melihat banyaknya piksel dalam bidang vertikalnya. Perhatikan contoh di atas. Grafik histogram pada contoh di atas lebih dominan ada di bagian kiri sehingga gambar yang diwakili oleh grafik semacam ini cenderung gelap. Puncak grafik juga tampak sangat tinggi menandakan adanya clipping atau under eksposur. Ada beberapa bagian dari foto yang kehilangan detailnya di daerah gelap (shadow). Bila tampilan semacam ini dijumpai sebelum foto diambil (saat preview), maka kita bisa lakukan kompensasi eksposur ke arah positif sehingga puncak grafiknya bisa bergeser dari daerah gelap.
   Gambar di atas menunjukkan grafik histogram yang dominan di bagian kanan sehingga gambarnya akan terlalu terang. Puncak gafik di bagian kanan juga sangat tinggi menandakan adanya clipping di daerah highlight akibat over eksposur. Bila kondisi ini dialami saat preview, bisa dilakukan kompensasi eksposur ke arah negatif sehingga penyebarannya bisa lebih di tengah. Gambar di atas menunjukkan grafik histogram yang memiliki daerah gelap dan terang yang sama-sama dominan, biasanya terjadi saat jangkauan dinamik dari obyek yang difoto jauh lebih lebar dari jangkauan dinamik kamera. Contohnya saat memotret landscape yang didominasi terangnya langit dan gelapnya daratan. Jadi pada dasarnya tidak ada histogram yang dianggap ‘benar’ atau ‘standar’ karena bentuk grafik histogram akan selalu berbeda-beda tergantung akan kondisi gambar yang diwakilinya. Namun sebagai perbandingan, sebuah gambar yang memiliki detail dan kontras yang tinggi serta tidak mengalami under atau over eksposur akan memiliki bentuk grafik yang menyebar dari daerah gelap hingga daerah terang dengan puncak yang tidak mengalami clipping. Gunakan informasi yang ditampilkan melalui histogram sebagai sarana mengevaluasi eksposur dan mengetahui adakah ada daerah yang clipping dari sebuah foto.

P. Memaksimalkan Fungsi dari Scene Mode

   Pada kamera digital saku, keberadaan fitur manual mode bisa jadi merupakan fitur mewah yang jarang bisa dijumpai kecuali di kamera saku kelas menengah. Padahal fitur manual merupakan cara termudah untuk berkreasi dengan eksposur seperti menentukan kecepatan shutter dan bukaan aperture lensa. Sebagai gantinya, kamera saku sepenuhnya melakukan kendali tersebut secara otomatis atau yang biasa disebut dengan Auto mode. Semakin modern kamera digital, kemampuan Auto mode yang dimilikinya juga semakin baik, meski masih belum memuaskan untuk segala kondisi pemotretan. Untuk itu pada kamera juga disediakan fitur bernama Scene Mode, dimana kamera memiliki beberapa preset setting untuk berbagai kondisi pemotretan yang spesifik, tinggal kitalah sebagai pemakai yang memilih Scene Mode mana yang dirasa paling tepat. Bisa jadi cukup jarang dari pemilik kamera saku yang memaksimalkan fungsi dari Scene Mode ini. Alasan utamanya mungkin karena mereka sudah cukup puas dengan Auto Mode yang dimiliki kameranya. Alasan lain bisa jadi karena adanya anggapan kalau memakai Scene Mode ini rumit dan bingung mau memakai preset yang mana. Hal ini juga semakin runyam saat kamera modern membenamkan banyak sekali preset yang sangat spesifik dan kadang hampir mirip satu sama lain. Memang tidak semua kamera sama dalam urusan Scene Mode ini, tapi secara umum ada kesamaan mendasar untuk mode-mode basic yang memang diperlukan dan tidak bisa digantikan oleh Auto Mode biasa. Artikel kali ini akan mengajak pembaca untuk memaksimalkan Scene Mode yang cukup penting dan sering digunakan dan akan memberi hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan mode Auto. Perhatikan kalau nama preset berikut ini bisa sedikit berbeda antara merk kamera. Inilah preset dari Scene Mode yang cukup penting untuk diketahui dan dicoba :
·         Sports Mode
    Inti dari mode ini adalah memaksa kamera untuk memakai kecepatan shutter yang tinggi. Istilah Sport Mode ditujukan untuk memberi gambaran bahwa aktivitas sport itu identik dengan gerakan yang cepat dan diperlukan kamera yang mampu membekukan obyek yang tengah bergerak itu. Jadi untuk memotret apapun yang bergerak seperti anak yang bergerak lincah, momen olah raga, atau gerakan lain yang perlu dibekukan, gunakan Sport Mode ini. Bila perlu, kamera akan menaikkan ISO hingga nilai tertingginya demi mendapat kecepatan shutter yang dibutuhkan. Hal ini akan berakibat noise yang cukup mengganggu akibat pemakaian ISO tinggi. Jadi mode ini mengutamakan kecepatan shutter namun terpaksa mengorbankan kualitas foto.
·         Night Scenery
    Kebalikan dari mode sebelumnya, mode Night Scenery akan memaksa kamera untuk memakai kecepatan shutter yang lambat. Tujuannya adalah supaya kamera punya cukup waktu untuk menangkap cahaya temaram sehingga bisa terekam dengan indah. Istilah Night Scenery sendiri diartikan pemandangan malam hari yang identik dengan banyak lampu kota yang gemerlap, yang menggoda orang untuk memotretnya. Dengan memakai mode Auto, bisa jadi hasilnya akan gelap karena kecepatan shutter tidak cukup lambat untuk merekamnya. Karena mode ini memakai shutter lambat, untuk menghindari hasil yang blur akibat gerakan tangan, gunakan tripod atau letakkan kamera di tempat yang stabil.
·         Night Portrait
   Hampir sama seperti mode Night Scenery, mode Night Portait juga memakai shutter lambat untuk mengabadikan gemerlapnya lampu kota. Bedanya, di mode ini ada orang yang ikut difoto dengan latar belakang lampu kota tadi. Nah, diperlukan lampu kilat untuk menerangi orang yang difoto kan? Maka itu mode Night Portrait akan menggabungkan antara pemakaian shutter lambat dan lampu kilat untuk mendapat hasil yang diinginkan. Dengan mode Auto biasa, yang terjadi obyek akan diterangi lampu kilat sementara latar belakangnya akan gelap. Seperti mode Night Scenery, gunakan tripod agar tidak blur, plus mintalah si obyek yang difoto untuk tetap diam sampai foto selesai diambil.
·         Landscape
    Inti dari mode Landscape adalah mendapatkan foto dengan ketajaman di semua bidang foto, sehingga tidak ada daerah yang out of focus (dalam kata lain Depth-of-Field lebar). Untuk mendapat hasil semacam itu, setidaknya diperlukan dua pengaturan yaitu pemakaian bukaan kecil dan fokus di set ke infinity (tak terhingga). Scene mode Landscape ini akan melakukan dua hal di atas, plus meningkatkan warna hijau untuk kesan warna tanaman yang lebih kuat. Gunakan mode Landscape hanya saat sinar matahari cukup terang karena bukaan lensa yang kecil akan membuat jumlah cahaya yang memasuki lensa menjadi berkurang.

·         Macro
     Kebalikan dari mode Landscape, mode Macro akan berusaha mendapat foto dengan jarak fokus terdekat (minimum focus distance) dan kamera akan mencari fokus hanya pada jarak dekat saja. Dengan mode Macro bisa didapat latar belakang yang  out of focus (Depth of Field sempit) apalagi bila jarak antara obyek yang difoto dengan latar belakangnya cukup jauh. Mode ini akan memberi hasil yang berbeda-beda tergantung spesifikasi lensa yang digunakan, ada yang bisa 10 cm dan ada yang bahkan bisa 1 cm. Bila anda menemukan banyak sekali pilihan Scene Mode, setidaknya kenalilah Scene Mode mana yang menurut anda paling diperlukan. Tiap kamera mestinya memiliki Scene Mode mendasar seperti yang diuraikan di atas, dan Scene Mode lainnya meskipun juga bermanfaat namun tidak terlalu berbeda bila diambil dengan mode Auto. Contoh Scene Mode lainnya seperti :

 Beach / snow     
     : untuk dipakai di pantai atau di daerah bersalju yang terang
 Portrait     : untuk potret wajah (biasanya dikombinasikan dengan auto fokus berbasis Face Detection)
 Kids
     : untuk memotret anak-anak
 Pets 
     : untuk memotret binatang
 Starry sky
     : untuk memotret bintang di langit, memakai shutter sangat lambat
 Party / indoor     : untuk pemakaian dalam ruangan yang kurang cahaya, hampir sama dengan mode Night Scenery

Q. Memotret Bulan

   Bulan merupakan benda angkasa terdekat terhadap Bumi. Nyaris setiap malam kita bisa menyaksikan benda ini, dan boleh jadi pernah berusaha mengabadikannya. Kendati demikian memotret Bulan tidaklah semudah melihat. Berikut ini panduan memotret Bulan dengan menitik-beratkan pada porsi cahaya dan kecepatan. Dalam fotografi, porsi cahaya baku berpatokan pada kecerahan sinar Matahari. Patokan klasik biasa dinamakan "Sunny 16 rule". Patokan mainnya (rule of thumb) kira-kira berbunyi, gunakan kecepatan 1/ASA-film (detik) pada lebar diafragma 1/16 pada siang bolong. Biasanya aturan ini disertakan dalam kemasan film. Misalkan kita memakai film sepeka ASA 100 maka semestinya kita mematok kecepatan 1/100 detik (dalam praktik biasanya 1/125 detik) pada lebar diafragma 1/16. Apabila kita membuka diafragma 1/8 (dua kali selebar 1/16) maka kecepatan meningkat dua kali pula untuk mendapatkan pencahayaan yang tepat (1/500 detik). Apabila kita memakai film ASA 400 maka kecepatan acuan rana 1/400 detik (1/500 detik dalam praktek) pada lebar diafragma 1/16 untuk mendapat porsi cahaya yang wajar.
   Bulan merupakan satelit Bumi yang berjarak nyaris sama terhadap Matahari. Oleh karena itu logika "Sunny 16 rule" berlaku juga di sini dengan sedikit aturan tambahan. Aturan tambahan timbul karena Bulan berlatarbelakang angkasa yang hitam sehingga 'menipu' sensor cahaya lensa. Pada lensa-lensa di bawah panjang titik-api 500 mm, cahaya dari permukaan Bulan sulit terukur akurat melalui sensor cahaya kamera (light meter). Biasanya fotografer memperbanyak porsi cahaya 100 persen agar pencahayaannya tepat. Jadi aturan mainnya kira-kira menjadi : kita semestinya memakai 1/ASA-film (detik) pada bukaan diafragma 1/11 ketika memotret Bulan. Misalkan kita memakai film sepeka ASA 100 maka semestinya kita mematok kecepatan rana 1/125 pada diafragma 1/11. Apabila kita membuka diafragma 1/16 (separuh 1/11) maka kecepatan merosot 100 persen menjadi (1/60 detik). Apabila kita memakai film ASA 400 maka kecepatan acuan rana 1/400 detik (1/500 detik dalam praktek) pada lebar diafragma 1/11.
   Aturan tersebut berlaku ketika Bulan purnama. Semakin kecil luas permukaan Bulan yang terlihat maka kita perlu menambah porsi cahaya yang masuk ke film. Patokan umum adalah peningkatan 100 persen cahaya sesuai perbani Bulan. Pada fasa bulan-baru, porsi cahaya kira-kira memerlukan tambahan 4 - 5 kali sebanyak bulan purnama. Apabila kita memotret bulan sabit dengan kepekaan setara film ASA 400, maka kecepatan acuan rana kira-kira menjadi 1/500 detik pada lebar diafragma 1/4 atau bisa juga kecepatan 1/60 – 1/30 detik dengan lebar diafragma 1/11.
   Apabila kita memotret bulan sabit dengan kepekaan setara film ASA 100, maka kecepatan acuan rana kira-kira menjadi 1/100 detik dengan lebar diafragma 1/4 atau bisa juga kecepatan 1/15 detik dengan lebar diafragma 1/11. Hitungan ini hanyalah acuan di lapangan terutama ketika memakai lensa-lensa lebar (lebih lebar daripada 35 mm). Dalam praktik lebih sering porsi cahaya harus diperbesar ketika situasi berawan, sarat polusi cahaya, atau posisi Bulan berada dekat cakrawala. Pengukur cahaya dalam kamera baru memadai hanya ketika pemotretan menggunakan lensa cukup panjang (terutama lebih panjang daripada 200 mm).
   Cahaya bukan satu-satunya problem dalam pemotretan bulan. Kecepatan rana yang terlalu lambat terhadap gerak Bulan (relatif terhadap lensa) akan mengaburkan citra Bulan. Faktor penentu untuk mengatasi persoalan ini terletak pada panjang titik-api lensa. Bulan bergeser 1/2 derajat-busur setelah dua menit terhadap lensa dan kamera yang bergeming. Pergeseran ini semakin kentara sesuai panjang titik-api lensa yang sedang dipergunakan. Kira-kira pada panjang titik-api 50 mm, kita bisa membuka rana sampai 10 detik sebelum citra Bulan terlihat berekor. Pada panjang titik-api lensa 200 mm kesempatan merosot paling banter 2 – 4 detik. Pada panjang titik-api lensa 300 mm maka kesempatan paling banter 2 detik.

R. Hyperfocal distance dan pemanfaatannya dalam Landscape Photography

   Topik dan penjelasan tentang Hyperfocal Distance (Jarak hiperfokal) ini dibuat sebagai penunjang dari topik 14 Tips untuk memperbaiki/improve foto Landscape anda , terutama tentang point 4. Carilah Foreground (FG), dimana di topik tersebut hanya disinggung sedikit tanpa penjelasan dan juga adanya pertanyaan ttg hal ini dan dari respons di topik tersebut.

Definisi Hyperfocal Distance

   Penjabaran pertama yang mudah dari hyperfocal distance atau Jarak Hiperfokal adalah: jarak dari lensa ke suatu titik focus dimana dari titik focus tersebut ke infinity (tak terhingga) adalah tajam. Ditambah dgn bonus: setengah dari jarak dari titik tersebut kearah lensa juga ikut tajam (acceptable sharpness). Kenapa saya sebut bonus? Karena sebetulnya kita meletakkan titik focus dari kamera/lensa kita pada titik jarak hiperfocal tersebut untuk mendapatkan bidang DOF (depth of field) seluasnya dari titik/jarak tersebut ke infiniti tapi krg lebih setengah jarak dari titik tersebut kedepan (kearah) lensa juga ikut tajam dalam batasan acceptable sharpness (ketajaman yang masih bisa diterima).
   Dari Gambar ilustrasi pertama dibawah, Kalau kita mengintip dari viewfinder dan meletakkan titik focus pada titik A, maka dari titik A tersebut hingga infiniti akan masuk dalam bidang DOF (depth of field) atau sering disebut juga bidang tajam. Tapi kita juga mendaptakan bonus ketajaman yaitu setengah jarak dari titik A ke arah lensa juga ikut tajam. Atau dengan kata lain, dari titik B ke infiniti akan tajam. Penjabaran kedua dari hyperfocal distance adalah: jarak dari lensa ke suatu titik dimana dari titik tersebut kedepan akan tajam jika lensa difocuskan pada titik infinity. Dengan kata lain dari titik tersebut hingga infiniti akan tajam

  Bagaimana menghitung Hyperfocal distance

     Jarak hiperfocal untuk suatu lensa pada suatu panjang lensa (focal lenght) dan pada bukaan diafragma (apperture) tertentu dapat dihitung dengan rumus-rumus matematika yang, menurut saya, gampang-gampang susah. Untuk lebih jelasnya rumus-rumus tersebut bisa di lihat di wikipedia. Selain dengan menghitung manual, ada pula program yang bisa dipergunakan untuk menghitung dan mensimulasikan hyperfocal distance tersebut.
Program ini sangat memudahkan kita untuk menghitung hyperfocal distance dan juga kita bisa mendapatkan tabel jarak hyperfocalnya. Salah satu program yang saya gunakan bisa didapatkan di DOFMaster. Dari Program DOF MAster tersebut, pada gambar ilustrasi kedua dibawah, digunakan sebuah disk/piringan dimana tanda/mark/notasi pada piringan terluar adalah merupakan tanda jarak (dalam meter), dan pada piringan dalam adalah tanda/notasi bukaan (aperture/f number) dari lensa yg digunakan.

   Dengan menggunakan penjabaran pertama sebagai dasar, misalkan kita mempunyai wide lens 28mm, dan kita akan menggunakan f/22 untuk mendapatkan DOF atau bidang fokus (tajam) yang selebar2nya, maka kalau kita set notasi f22 yg diatas (yg dikotak kuning) pada infiniti, maka akan kita dapatkan jarak hiperfocal pada panah [A] pada 1.18m, dan setengah jarak hiperfokal pada notasi f22 yg dibawah [B] pada 0.59m.
Jadi [A] adalah hyperfocal distance atau titik A pada gambar ilustrasi pertama dan [B] adalah setengah jarak dari dari hyperfocal distance atau titik B pada gambar ilustrasi pertama.

S. 14 Tips Untuk Memperbaiki Foto Landscape Anda

1. Maksimalkan Depth of Field (DoF)
   Sebuah pendekatan konsep normal dari sebuah landscape photography adalah "tajam dari ujung kaki sampai ke ujung horizon". Konsep dasar teori "oldies" ini menyatakan bahwa sebuah foto landscape selayaknya sebanyak mungkin semua bagian dari foto adalah focus (tajam). Untuk mendapatkan ketajaman lebar atau dgn kata lain bidang depth of focus (DOF) yang selebar2nya, bisa menggunakan apperture (bukaan diafragma) yang sekecil mungkin (f number besar), misalnya f14, f16, f18, f22, f32, dst.
Tentu saja dgn semakin kecilnya apperture, berarti semakin lamanya exposure.
Karena keterbatasan lensa (yang tidak mampu mencapai f32 dan/atau f64) atau posisi spot di mana kita berdiri tidak mendukung, sebuah pendekatan lain bisa kita gunakan, yaitu teori hyper-focal, untuk mendapatkan bidang fokus yang "optimal" sesuai dgn scene yang kita hadapi. Inti dari jarak hyper-focal adalah meletakan titik focus pada posisi yang tepat untuk mendapatkan bidang focus yg seluas-luasnya yg dimungkinkan sehingga akan tajam dari FG hingga ke BG.
Dengan DoF lebar, akibat penggunaan f/20 dan pengaplikasian hyper-focal distance untuk menentukan focus
Masih dgn pengaplikasikan hyper-focal untuk mendapatkan DoF yg seluas2nya

2. Gunakan tripod dan cable release
   Dari #1 diatas, akibat dari semakin lebarnya DOF yang berakibat semakin lamanya exposure, dibutuhkan tripod untuk long exposure untuk menjamin agar foto yang dihasilkan tajam. Cable release juga akan sangat membantu. Jika kamera memiliki fasilitas untuk mirror-lock up, maka fasilitas itu bisa juga digunakan untuk menghindari micro-shake akibat dari hentakkan mirror saat awal.

3. Carilah Focal point atau titik focus
    Titik focus disini bukanlah titik dimana focus dari kamera diletakkan, tapi lebih merupakan titik dimana mata akan pertama kali tertuju (eye-contact) saat melihat foto. Hampir semua foto yang "baik" mempunyai focal point, atau titik focus atau lebih sering secara salah kaprah disebut POI (Point of Interest). Sebetulnya justru sebuah landscape photography membutuhkan sebuah focal point untuk menarik mata berhenti sesaat sebelum mata mulai mengexplore detail keseluruhan foto. Focal point tidak mesti harus menjadi POI dari sebuah foto. Sebuah foto yang tanpa focal point, akan membuat mata "wandering" tanpa sempat berhenti, yang mengakibatkan kehilangan ketertarikan pada sebah foto landscape. Sering foto seperti itu disebut datar (bland) saja. Focal point bisa berupa berupa bangunan (yg kecil atau unik diantara dataran kosong), pohon (yg berdiri sendiri), batu (atau sekumpulan batu), orang atau binatang, atau siluet bentuk yg kontrast dgn BG, dst.
Peletakan dimana focal point juga kadang sangat berpengaruh, disini aturan "oldies" Rule of Third bermain.

4. Carilah Foreground (FG)
   Foreground bisa menjadi focal point bahkan menjadi POI (Point of Interest) dalam foto landscape anda.
Oleh sebab itu carilah sebuah FG yang kuat. Kadang sebuah FG yang baik menentukan "sukses" tidaknya sebuah foto landscape, terlepas dari bagaimanapun dasyatnya langit saat itu.
Sebuah object atau pattern di FG bisa membuat "sense of scale" dr foto landscape kita.

5. Pilih langit atau daratan
   Langit yang berawan bergelora, apalagi pada saat sunset atau sunrise, akan membuat foto kita menarik, tapi kita tetap harus memilih apakah kita akan membuat foto kita sebagian besar terdiri dari langit dgn meletakan horizon sedikit dibawah, atau sebagian besar daratan dgn meletakkan horizon sedikit dibagian atas.
Seberapa bagus pun daratan dan langit yang kita temui/hadapi saat memotret, membagi 2 sama bagian antara langit yang dramatis dan daratan/FG yang menarik akan membuat foto landscape menjadi tidak focus, krn kedua bagian tersebut sama bagusnya. Komposisi dgn menggunakan prisip "oldies" Rule of Third akan sangat membantu. Letakkan garis horizon, di 1/3 bagian atas kalau kita ingin menonjolkan (emphasize) FG nya, atau letakkan horizon di 1/3 bagian bawah, kalau kita ingin menonjolkan langitnya. Tentu saja hukum "Rule of Third" bisa dilanggar, andai pelanggaran itu justru memperkuat focal point dan bukan sebaliknya. Juga tidak selalu dead center adalah jelek.

6. Carilah Garis/ Lines/ Pattern
   Sebuah garis atau pattern bisa membuat/menjadi focal yang akan menggiring mata untuk lebih jauh mengexplore foto landscape anda. Kadang leading lines atau pattern tersebut bahkan bisa menjadi POI dari foto tersebut. Garis-garis, juga bisa memberikan sense of scale atau image depth (kedalaman ruang).
Garis atau pattern bisa berupa apa saja, deretan pohon, bayangan, garis jalan,tangga, tepi danau/laut,dst. Hanya dengan seringnya melakukan hunting atau photo trip, kita akan terbiasa melihat lines?shape dan pattern yang terkadang tersamarkan atau berbaur dengan alam atau lingkungannya. Angle dan komposisi dapat memperkuat sebuah leading lines atau shape yang ada.

7. Capture moment & movement
   Sebuah foto Landcsape tidak berarti kita hanya menangkap (capture) langit, bumi atau gunung, tapi semua elemen alam, baik itu diam atau bergerak seperti air terjun, aliran sungai, pohon2 yang bergerak, pergerakan awan, dst, dapat menjadikan sebuah foto landscape yang menarik.
Sebuah foto landscape tidak harus mengambarkan sebuah pemandangan luas, seluas luasnya, tapi sebuah isolasi detail, baik object yang statis maupun yg secara dinamis bergerak, bisa menjadi sebuah subject dari sebuah foto landscape. Untuk itu lihat #13.

8. Bekerja sama dengan alam atau cuaca
   Sebuah scene dapat dengan cepat sekali berubah. Oleh sebab itu menentukan kapan saat terbaik untuk memotret adalah sangat penting. Kadang kesempatan mendapat scene terbaik justru bukan pada saat cuaca cerah langit biru, tapi justru pada saat akan hujan atau badai atau setelah hujan atau badai, dimana langit dan awan akan sangat dramatis. Selain kesabaran dalam "menunggu" moment, kesiapan dalam setting peralatan dan kejelian dalam mencari object dan Focal Point seperti awan, ROL (ray of light), pelangi, kabut, dll. 

9. Golden Hours & Blue hours
   Pada normal colour landscape photography, saat terbaik biasanya adalah saat sekitar (sebelum) matahari terbenam (sunset) atau setelah matahari terbit (sunrise). Golden hours adalah saat, biasanya 1-2 jam sebelum matahari terbenam (sunset) hingga 30 menit sebelum matahari terbenam, dan 1-3 jam sejak matahari terbit, dimana "golden light" atau sinar matahari akan membuat warna keemasaan pada object.
   Selain itu, saat golden hours juga akan membuat bayangan pada oject, baik itu pohon, atau orang menjadi panjang dan bisa menjadi leading lines spt yg disebutkan pada #6 diatas.
Jika kita memotret pada saat golden hours sudah lewat, atau pada saat matahari sudah terik, biasanya hasilnya akan flat atau harsh lightingnya krn matahari sudah jauh diatas.
Ini berlawananan dgn IR landscape photography yg tidak mengenal golden hours, dimana saat terbaik justru pada saat tengah teriknya matahari. Blue hours adalah beberapa saat, biasanya hingga 20-30 menit setelah matahari terbenam (sunset), dimana matahari sudah tebenam, tapi langit belum gelap hitam pekat. Pada saat ini langit akan berwarna biru.
   Jadi adalah kurang tepat, bahwa pada saat matahari sudah terbenam dan langit mulai gelap (oleh mata kita), kita langsung mengemas/beres2 gear/tripod kita. Justru pada saat ini kita bisa mendapatkan sebuah scene yang bagus dimana langit akan berwarna biru dan tidak hitam pekat. Biasanya dgn long exposure, awan pun (walau kalau kita lihat dgn mata telanjang sdh tidak tampak) masih akan terlihat jelas dan memberikan texture pada birunya langit.

10. Cek Horizon
Walaupun sekarang dgn mudah kesalahan ini dapat di koreksi dgn image editor tapi saya masih berkeyakinan "get it right the first time" akan lebih optimal.
Ada 2 hal terakhir saat sebelum kita menekan shutter:
  Apakah horizonya sudah lurus, ada beberapa cara untuk bisa mendapatkan horion lurus saat eksekusi di lapangan, lihat #12
  Apakah horizon sdh di komposisikan dgn baik, lihat #5 untuk pengaplikasian Rule of third. Peraturan/rule kadang dibuat untuk dilangar, tapi jika scene yang akan kita buat tidak cukup kuat (strong) elementnya, biasanya Rule of Third akan sangat membantu membuat komposisi menjadi lebih baik. Memang dgn croping nantinya di software pengolah gambar, kita bisa memperbaikinya. Tapi kalau tidak dgn terpaksa, lebih baik pada saat eksekusi kita sudah menempatkan horizon pada posisi yang sebaiknya.

11. Ubah sudut pandang/angle/view anda
   Kadang kita terpaku dgn sudut pandang atau angle yang umum kita lakukan, atau mungkin kalau kita mengunjungi suatu tempat yang sering kita lihat fotonya baik itu dimajalah atau website seperti di FN ini, kita menjadi "latah" dan memotret dgn angle yang sama.
Banyak cara untuk mendapatkan fresh point of view. Tidak selamanya "eye-level angle" (posisi normal saat kita berdiri) dalam memotret itu yang terbaik. Coba dgn high-angle (kamera diangkat diatas kepala), waist-level angle, low level, dst, coba berbagai format horizontal dan/atau vertikal. Atau mencoba mencari spot atau titik berdiri yang berbeda atau tempat yang berbeda, misalnya dari atas pohon (ada memang fotografer senior yang saya kenal yang senang memanjat pohon untuk utk mendapatkan view yg berbeda, dan hasilnya memang berbeda dan unik), atau mencoba berdiri lebih ketepi jurang, atau bahkan tiduran ditanah... tentu saja dgn lebih mengutamakan keselamatan anda sendiri sbg faktor yang lebih utama dan menghitung resiko yang mungkin didapatkan.
   Satu hal yang harus dipahami, mencoba dengan sudut pandang yang berbeda tidak selalu otomatis gambar kita akan lebih bagus atau lebih baik, tapi begitu sekali anda mendapatkan yang lebih bagus, dijamin pasti berbeda dgn yang lain. Dengan sering ber-experimen dgn berbagai angle, lama-kelamaan insting anda akan terlatih saat berada di lapangan untuk mendapatkan tidak hanya angle yang bagus, tapi juga berbeda.
Jangan memotret berulang2 pada satu titik/spot. Cobalah untuk bergeser beberapa meter kesamping atau kedepan, atau bahkan berjalan jauh. Juga sesekali coba untuk menoleh kebelakang untuk melihat, kadang bisa mendapatkan angle yang menarik dan berbeda. 3-5 exposure/jepretan pada satu titik dan "move on, change spot, change orientation (landscape <-> portrait), look back, change lenses". Terutama jika anda sering travelling, baik itu ke tempat yang sudah umum atau ke tempat yang jarang di kunjungi fotografer. Ada kalanya kita ada pada suatu spot dimana foto dari lokasi itu sudah merupakan lokasi "sejuta umat" dimana ratusan bahkan ribuan fotografer pernah memotret di spot yg sama dan menghasilkan foto yang mirip atau beda-beda tipis.
Gunakan foto-foto yang sering anda lihat tersebut sebagai referensi, pelajari dan aplikasikan tekniknya dan coba menemukan sesuatu yang berbeda. Make a difference.

12. Pergunakan peralatan bantu
Penggunaan beberapa peralatan bantu dibawah akan sangat membantu untuk mendapatkan foto landscape yang lebih baik.
    * CPL filter : untuk lebih memekatkan/ saturasi warna, memekatkan warna biru pada langit, menghilangkan pantulan, dst.
    * ND filter : Untuk menurunkan exposure, untuk mendapatkan slow exposure speed. Dari ND2, ND4, ND8. ND400 hingga ND1000
    * Graduated ND filter :Untuk menyeimbangkan exposure antara bagian atas dan bawah, misalnya antara langit dan daratan. Dari ND 0.1, 0.2, 0.3, 0.6 hingga 1.2

 Ada 2 type Graduated ND: Soft Edge & Hard Edge
    * Graduated color filter, seperti graduated Sunset, Graduated Tobacco, Graduated Blue Fluorescent, dsb, dengan berbagai kepekatan dan type (mirip dgn normal Graduated ND)
    * Bubble level : Untuk mendapatkan horizon yang level/datar sempurna. Bisa juga menggunakan grid pada view finder atau menggunakan focusing screen yang mempunyai grid.

Memang dgn semakin mudahnya penggunaan software dan semakin canggihnya feature software pengolah gambar untuk memperbaiki/koreksi kesalahan pada saat eksekusi yang bisa mengatasi kesalahan exposure atau kemiringan horizon, penggunaan alat2 tersebut diatas kadang terasa kurang diperlukan, tapi umumnya "get it right the first time" akan bisa menghasilkan foto yang lebih baik dan natural, dibandingkan kalau foto itu harus dipermak habis-habisan nanti hanya agar bisa tampak "baik".
Jika sudah melakukan segalanya dgn baik dan benar, akan lebih terbuka luas lagi kemungkinannya untuk mengolahnya dgn lebih sempurna nantinya.

13. Lensa yang dipergunakan
Kadang sering ada asumsi bahwa sebuah foto landscape itu harus menggunakan lensa yang selebar mungkin. Tapi dalam membuat sebuah foto landscape, semua lensa dapat dipergunakan, dari lensa super wide (14mm, 16mm, dst), wide (20mm - 35m), medium, (50mm - 85mm), hingga tele/super tele (100mm - 600mm). Semua range lensa bisa dan dapat dipergunakan. Semua itu tergantung atas kebutuhan dan scene yang kita hadapi. Lensa wide/super wide kadang dibutuhkan jika kita ingin merangkum sebuah scene seluas-luasnya dgn memasukan object yang banyak atau yang berjauhan atau ingin mendapatkan perspektif yg unik.Tapi kadang sebuah tele bisa digunakan untuk mengisolasi scene sehingga lebih un-cluttered, simple dan focus. Jika tiba pada suatu lokasi/spot, usahakan mencoba dgn semua lensa yang anda bawa. Jangan terpaku pada satu lensa dan memotret berulang-ulang. Kadang diperlukan kejelian, untuk melihat dan mencari suatu bentuk unik atau pattern dari luasnya sebuah scene landscape, sehingga kita dapat meng-isolasi dgn menggunakan lensa yang tepat. Hanya dengan sering memotret dan menghadapi berbagai scene di berbagai kondisi yang dapat mengasah insting anda, baik itu object apa yang harus dicari ataupun lensa apa yg harus dipergunakan. Penggunaan lensa yg tidak standard seperti fish-eye (baik itu yang diagonal maupun yang full-circular) bisa juga mendapatkan view yang menarik, tentu dgn pengunaan pada saat yang tepat. Tidak selalu penggunaan fish-eye menghasilkan foto yg "bagus" walau memang berbeda.

14. Persiapkan diri dan sesuaikan peralatan
Walau ini tidak berhubungan langsung, tapi kadang sangat menentukan. Sering kali kita membutuhkan research atau tanya dulu kiri kanan, baik itu dgn googling atau bertanya dgn fotografer yang sudah pernah kesana ke satu lokasi sebelumnya, terutama jika mengunjungi tempat yang berbeda jauh iklim maupun cuacanya, krn itu akan menentukan kesiapan kita baik fisik maupun peralatan yang harus dibawa, baik itu peralatan fotografi maupun peralatan penunjang.

Cek ulang dan test semua camera dan lensa yang akan dibawa. Akan lebih baik kalau semua perlataan yang akan dibawa dalam keadaan bersih, baik itu lensanya, filter2 maupun kamera (sensor) nya. Membawa semua lensa yang kita punya kadang tidak bijaksana. Mungkin suatu trip hanya membutuhkan satu atau dua lensa saja, atau justru membutuhkan lebih dr itu krn kita sudah mempunyai gambaran atau informasi atau trip tersebut merupakan pengulangan trip yg sudah pernah dilakukan. Mengetahui alam dan lingkungan dan adat (jika ada penduduknya) dari lokasi pemotretan juga akan sangat membantu. Bahkan kadang dgn membawa peta (atau mungkin GPS) akan membantu kita menemukan suatu tempat atau spot, khususnya bila kita hunting di daerah ayng tidak ketahui atau lokasi yang kita tidak hapal.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah melindung seluruh peralatan yang anda bawa selama photo trip/hunting, baik itu hanya day-trip, overnight trip atau trip berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Sebelum berangkat, pastikan anda memilki check-list perlaatan apa saja yg anda bawa. Catat juga semua model dan serial numbernya.

Untuk kiat-kiat melindungi peralatan/gear anda:

   * Simpanlah peralatan kamera anda dalam tasnya jika tidak dipergunakan. Beli dan pergunakanlah padlock/gembok dgn kualitas yang cukup baik untuk menguncinya.
    * Jika anda menginap diasuatu hotel/ motel/ hostel, jangan tinggalkan peralatan anda tergeletak diatas meja atau di atas tempat tidur jika meninggalkan kamar, walau hanya sebentar, misal untuk keluar makan. Masukkan kembali kedalam tas dan kuncilah.
    * Jika anda menginap di suatu cottage (biasanya didaerah pantai) atau hotel dengan kamar dilantai dasar, dengan jendela yang dapat terbuka, jangan meletakkan tas anda dekat jendela, baik saat meninggalkan kamar atau pada saat anda tidur. Tas dapat dengan mudah di “kail/pancing” dari luar.
   * Untuk peralatan lain seperti laptop, gunakan pengaman laptop , seperti kabel pengaman laptop (Notebook lock) buatan Kensington, jenis Microsaver, yang dapat di ikatkan/ dilingkarkan ke suatu benda yang fix/ tetap seperti meja kayu, atau tiang besi.
    * Pengalaman saya di negara2 dunia ketiga (bukan Indonesia), tidak bijaksana untuk membawa backpack kamera anda untuk memotret. Biasanya yang saya lakuakan adalah saya menggunakan kamera bag hanya untuk media transportasi peralatan saya, missal dari satu kota/tempat ke tempat yang lain. Untuk hunting saya mempergunakan kamer a bag yang lebih kecil atau kamera holder seperti  Toploader/Topload. Kadang2 didaerah yang rawan, adanya kamera backpack dipunggung anda hanya mengiklankan dan mengundang orang2 jahat.
    * Jika anda terpaksa harus meninggalkan seluruh atau sebagian peralatan anda dalam tas backpack, baik dikamar hotel atau mobil, selain dikunci gembok/padlock, gunakan jaring besi pengaman seperti Pacsafe yang sangat kuat melindungi keseluruhan backpack anda dengan prinsip kerja yang sama seperti pelindung laptop yaitu dengan dikaitkan/lingkarkan kesuatu benda yang fix seperti tiang besi, kursi mobil, kayu tempat tidur atau meja.
    * Sangat penting untuk mengetahui informasi tentang keadaan sekitar suatu tempat tujuan dari orang-orang setempat, baik tentang cara menuju kesana, situasi keamanan atau daerah yang harus dihindari, misalnya dari resepsionis, penjaga pintu/doorman, dll. Sering bertanya, sehingga multiple source adalah lebih berguna dari single source.
    * Jangan malas-malas, untuk sering-sering melakukan check-count/list atas semua peralatan yang dibawa, misalnya setiap malam sebelum tidur, sambil bersih2 peralatan/lensa. Jadi kalau ada satu item yang hilang dapat diketahui lebih awal… bukannya pada akhir perjalanan setelah tiba dirumah atau meninggalkan tempat tersebut.